-Dua Puluh Empat

26 9 6
                                    


"Menurutku semua jawaban yang paling tepat cuma ada dalam shalat istikharah kamu. Aku gak bisa memastikan juga yang mana harus dipilih. Serahkan semua sama Allah."

"Iya, Rein. Aku tau itu. Kamu ngerti kan gimana dilemanya aku?"

"Hmm..iya Ra. Sabar yah. Jika nantinya kamu gak jodoh sama kak Rian jangan pernah menyesali akan hal itu. Jangan sampai juga kamu menentang takdir Allah."benar yang Reina katakan, aku tidak boleh menentang semua takdir Allah. Berusaha untuk selalu menjalani apapun yang sudah Allah berikan.

"Betul, Rein. Aku setuju sama kamu."

"Tapi..kamu udah kasih tau Aldi kalo kamu udah dikhitbah?"

"Belum. Biarin aja lah. Lagian juga kak Rian gak pernah kasih kabar."

"Coba kasih tau aja, Ra. Jika memang harus diperjuangkan ya perjuangkanlah. Sebelum semuanya terlambat."

"Enggak..enggak. Gak perlu, untuk apa? Dia itu cuma modusin aku doang. Buktinya sampe saat ini gak ada kejelasan apa-apa."

"Hft...yaudah kalo kamu bilang begitu. Aku bisa apa? Pokoknya semoga pilihan terbaik dari Allah untuk kamu."

"Aamiin. Rein..udah dulu ya? Dira mau bantuin Ibu masak didapur."

"Oke..oke..Assalamu'alaikum cantik."

"Wa'alaikumussalam."

Suaraku melambung kelangit membawa para do'a yang ku panjatkan seiring waktu penantian. Berharap sesuatu yang kutunggu akan datang disaat yang tepat. Namun tetap saja sebagai makhlukNya, kita tidak boleh menentang takdir yang telah diberikan. Sebab Allah Subhanahu Wata'ala yang paling tahu bagaimanakah kehidupan kita kedepannya. Allahu'alam Bisshawab.

****

"Kita mau ngapain disini, Vin?"

"Ngobrol aja di taman ini. Lagipula ada yang mau Kevin sampaikan ke Mbak Dira."

"Apa itu?"

"Bagaimana shalat istikharahnya? Apa sudah menemukan titik terang?"

"Belum. Mungkin besok. Entahlah...aku rasanya gak pengen ngomongin hal itu."

"Loh kenapa?"

"Masih dilema."

"Dilema karena kak Rian? Iya?"

Aku menggangguk pelan sambil menoleh kearahnya."Tapi..ada hal lain selain itu yang aku pikirin."

"Apa?"

"Hmm...."

"Cerita aja, Mbak. Saling terbuka itu lebih baik daripada kamu harus menyimpan semuanya sendiri. Ada apa?"tanyanya lembut.

"Vin...bagaimana jika nasibku sama dengan Ibu? Bagaimana jika aku harus sendirian mengurus anak-anakku tanpa seorang Ayah? Bagaimana jika aku sebagai seorang istri tidak pernah didampingi oleh suami disetiap acara penting?"aku mendecak ludah."Dan kehilangan momen terpenting dalam hidup tanpa seorang Ayah. Ayah yang masih hidup namun seolah seperti sudah tiada. Sama sekali!"nada bicaraku perlahan meninggi. Meluapkan emosi yang benar-benar tertimbun dalam hati. Aku tidak ingin nasib anak-anakku sama sepertiku. Aku tidak tega, aku yang sudah pernah merasakannya.

"Tenang..tenang Mbak. Jangan emosi dulu. Hadapi semua dengan kepala dingin. Lagipula kamu tidak memutuskan jawaban istikharahmu sekarang kan? Masih ada waktu."

"Hft..udahlah, Vin. Kita bahas yang lain aja. Kamu udah setoran ke Rumah Tahfidz?"

"Belum. Kan kemarin baru aja pergi kesana."

"Ohh iya. Aku lupa. Pulang yuk udah mau jam 4 nih."

"Nanti dulu dong. Kevin kan mau ajak Mbak Dira jalan-jalan ke alun-alun Bandung."

"Ngapain? Pulang aja yuk."

"Enggak boleh! Pokoknya harus ikut. Yuk ke mobil."

"Mau ngapain sih? Males tau."

"Kita refreshing lah. Masa di rumah terus kan bosen kali."

"Hmmm...."

"Yuk...yuk."Kevin mengajak pergi ke alun-alun Bandung. Disana banyak sekali orang-orang yang juga menyempatkan waktu luang bersama teman, dan keluarga untuk berkumpul. Seperti separuh bebanku hilang. Aku sangat menikmatinya, lepas tanpa ada satu hal pun yang perlu aku pikirkan.

"Mbak!"

"Iya? Apa?"

"Beli es krim yuk. Disana!"ujarnya sambil menunjuk tukang es krim keliling disekitar alun-alun.

"Boleh! Ayuuuuk. Setuju banget!"

Kevin dan aku berjalan ke tempat tukang es krim berdiri sambil menawarkan dagangannya."Bang, dua ya? Dua-duanya rasa coklat."

"Oke, kang. Ini teh pacarnya?"ujarnya sambil tersenyum ramah.

"Bukan bang. Ini kakak saya. Kenapa memangnya?"

"Gapapa. Senyumnya manis banget itu. Hehe."

"Jangan gitu bang. Udah ada yang punya nih."ledek Kevin sambil melirik kearahku.

"Ohh udah ada yang punya ya?"

"Iya bang. Udah ya, makasih bang."Kevin memberikan uang pada tukang es krim.

"Hehe. Makasih, kang, teh."

"Sama-sama."kami kembali duduk di bawah pohon sambil memakan es krim dan menikmati suasana yang begitu sejuk. Tak lama, kami memutuskan untuk pulang karena waktu sudah hampir larut malam. Pasti Ayah dan Ibu mengkhawatirkan kami dirumah.

****

"Nad, aku ingin telpon kamu. Boleh?"pesan masuk whatsapp di hapeku tertulis dari Ahmad. Ada apa dia ingin menelponku? Bukankah urusan kita sudah selesai? Aneh!'

"Mau membicarakan apa? Diketik aja."balasku.

"Ada sesuatu hal yang penting, Nad."

"Apa?"

"Aku harus telpon kamu. Gak enak kalo diketik. Tolong banget, Nad. Sebentar aja."

"Hmm..yaudah."

Kemudian Ahmad menelponku dengan cepat."Assalamu'alaikum. Naaad."

"Wa'alaikumussalam."

"Kamu pindah? Kemana? Aku baru tau, Nad."

"Ke Bandung."

"Kok jauh banget ya? Kenapa gak bilang waktu kita lari bareng?"

"Enggak apa-apa."

"Nad? Kamu kenapa? Kok jutek banget?"

"Maaf, Mad. Aku lagi gak pengen ngomongin hal ini. Lagi gak mood buat ngomong sama siapa-siapa. Lagi pengen sendiri."

"Kenapa? Ada masalah? Aku bisa bantu kamu. Cerita aja."ujarnya dengan menggebu-gebu.

"Gapapa. Gak usah. Makasih ya."

"Nadd..."

"Mad..udah dulu ya? Aku mau tidur dulu, ngantuk banget."

"Hmm..maaf ya ganggu."

"Iya gak apa-apa. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."aku meletakkan handphoneku diatas tempat tidur. Berjalan mendekati jendela kamar dan berdiri menikmati hembusan angin yang lalu lalang merusuk kedalam raga.

Malam lebih erat memeluk bumi dalam keheningan daripada siang. Malamku dingin namun terasa hangat. Malamku juga adalah kotak penyimpanan rahasiaku kepada angin.

Malam, siapkah kau menyimpan seluruh rahasia hatiku? Samarkan lah ini semua didalam gelapmu dan biarkan aku tetap mencintainya dalam rahasiaku.

Kembali untuk Pergi...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang