-Tiga Puluh Satu

8 0 0
                                    


"Biar aku aja yang bukain, dek."

"Siapa ya mas?"mataku mencoba melongok ke arah luar jendela rumah. Namun tetap tidak terlihat.

"Gak tau juga. Mungkin teman kamu."ujarnya sambil bergegas membuka pintu pagar. Ada sebuah mobil yang berhenti didepan rumah. Sepertinya akan ada tamu lagi yang datang ke rumah. Untungnya, aku dan mas Khurnia memutuskan untuk kembali ke Bandung nanti sore.

"Deeeek...ada tamu nih."ujarnya keras. Aku sedang ada di kamar menjahit baju dinas mas Khurnia yang agak robek terkena paku di sisi kamarku.

Ku langkahkan kaki keluar kamar dan berjalan mendekat."I...iya..."spontan aku menjatuhkan baju mas Khurnia yang sedang ku pegang ditangan kiriku. Badanku panas dingin dan gemetar. Tidak menyangka kak Rian datang mengunjungiku pagi ini. Dia hanya sendiri tanpa ditemani oleh siapapun.

"Nadira."sapanya.

"Iya..."aku melihat mas Khurnia tampak heran karena aku tiba-tiba menjatuhkan bajunya. Dengan cepat, aku ambil kembali baju yang aku jatuhkan.

"Duduk dulu mas, silahkan."ujar mas Khurnia sambil mengarahkan tangannya ke kursi diruang tamu.

"Terimakasih mas."

Setelah mereka duduk, aku membuatkan teh manis hangat untuk disuguhkan. Tapi kak Rian menolak kekeh tidak mau dibuatkan teh manis."Gak usah, Ra. Aku cuma sebentar kok."

Mataku sesekali menatapnya. Mata yang sudah lama aku nantikan untuk bertemu. Perasaanku menjadi luluh dibuatnya. Rasa yang aku bangun bersama mas Khurnia seketika separuh hilang mendadak. "Ohh..baik."

"Ada apa mas datang kesini? Mau cari siapa?"sambung mas Khurnia.

"Saya mau cari Ibu dan Ayahnya Nadira. Dimana beliau, Ra?"lagi-lagi dia terfokus pada diriku.

"Beliau sudah ke Bandung. Kami semua sudah pindah ke Bandung sekitar 2 bulan lalu."

"Pindah???"nada bicaranya meninggi. Dia terlihat sangat terkejut.

"Iya pindah. Aku dan keluarga ikut bersama Ayah kesana."

"Mmm...gitu. Tapi maaf, mas ini siapa yah?"ujarnya sambil menoleh ke arah mas Khurnia.

"Oh..saya?"jawabnya, tersenyum. Aku mulai panik, tubuhku seperti mendidih. Tak sanggup untuk melihat reaksi kak Rian akan seperti apa jika dia mengetahui bahwa mas Khurnia adalah suamiku.

"YaAllah...tolong. Selamatkan aku."batinku.

"Iya masnya..."jawabnya lagi.

Tiba-tiba handphone mas Khurnia berdering. Dia langsung mengangkatnya tanpa menjawab pertanyaan kak Rian."Kak Rian udah gak ada keperluan apa-apa lagi kan? Sebaiknya kita akhiri pembicaraan kita."dengan cepat aku mengalihkan pembicaraan. Aku benar-benar belum siap untuk memberitahu kak Rian soal ini.

"Hmm...memangnya laki-laki itu siapa?"

"Kak...udah ya? Dira takut terkena fitnah. Kita bukan makhram."

Dengan wajah kebingungan dia mengiyakan mauku."Yaudah kalo gitu, aku pulang. Mas saya pamit dulu."

"Biar saya antar sampai ke depan mas."

"Oh iya, terimakasih mas."

Saat mas Khurnia mengantarkan kak Rian sampai ke depan pintu pagar, aku berlari ke kamar sambil menangis. Perasaanku tidak bisa dibohongi lagi. Aku menginginkan dia yang ada disampingku. Menyandang status sebagai 'suami' dari Nadira. Aku mengunci pintu kamar agar tidak ada yang masuk ke dalam.

Rinduku tak tertahan setelah sekian lama tidak bertemu, mata ini kembali menyatu dalam kehangatan. Tapi ada satu yang aku pikirkan, untuk apa dia mencari Ayah dan Ibu? Apa yang ingin dia lakukan? Dan mengapa dia tahu jika aku ada di rumah saat ini? Semua terjadi diluar dugaan.

Kembali untuk Pergi...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang