-Delapan belas

34 13 3
                                    


Sidang usai di laksanakan. Dan aku di nyatakan lulus dengan hasil yang sangat baik. Agenda selanjutnya adalah melaksanakan wisuda. Ini merupakan hal terpuncak dari yang seluruh Mahasiswa tunggu selama bertahun-tahun.

Aku mencoba menghubungi Ayahku dan memberitahu tentang kelulusanku. Rasaku penuh harap jika Allah mengizinkan, aku ingin sekali Ayah hadir dalam acara wisuda.

"Halo, Assalamu'alaikum. Ayah!"sapaku penuh semangat.

"Wa'alaikumussalam nak. Selamat ya! Ayah ikut senang."

"Terimakasih Ayah. Yah, aku mau tanya."

"Tanya apa? Silahkan ditanya dong."

"Emm..Ayah datang kan ke acara wisudaku?"

"Hmm..."

"Yah? Bisakan?"tanyaku dua kali.

"Maaf Mbak. Ayah tidak bisa hadir, disini lagi banyak yang harus dikerjakan. Bisa-bisa Ayah di marahi oleh komandan."

Badanku jadi lemas tak bertenaga setelah mendengarnya."Jadi, Ayah gak bisa lagi?"

"Mbak Dira paham kan bagaimana posisi Ayah saat ini? Ayah dikirim ke luar kota bukan tanpa alasan. Tapi memang Ayah dibutuhkan sangat disini."

Aku terdiam dan enggan menjawabnya.

"Mbak Dira..tolong pengertiannya. Ayah minta maaf sekali."

"Pengertian? Kami semua selalu pengertian dengan Ayah. Tapi apa? Apa yang Ayah berikan? Apakah sama pengertiannya dengan kami?"Batinku seakan menjerit.

"Yasudah gapapa. Udah dulu ya Ayah, Dira ngantuk."

"Mbak Dira marah sama Ayah?"

"Enggak kok. Udah ya Ayah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Tangis yang sering mati-matian ku tahan akhirnya pecah, air mata berjatuhan tanpa ragu membasahi pipi. Tanganku membekap mulut agar isakannya tidak terdengar hebat, sekonyong-konyongnya aku ingin menjerit melampiaskan amarahku. Mengapa seperti ini nasibku? Jauh dari Ayah, dan selalu tidak pernah ada dalam moment penting dalam hidupku. Aku sangat kecewa pada Ayah. Sangat kecewa!"

Aku memilih mengurung diriku di kamar selama berjam-jam. Tidak peduli perutku lapar atau tidak. Aku sedang tidak ingin di ganggu oleh siapapun.

****

"Mbak? Mbak Dira?"suara teriakan Ibu terdengar jelas dari luar.

Aku bangkit dari tempat tidur, dan mengusap air mataku."Iya, Bu? Kenapa?"tanyaku setelah membuka pintu kamar.

"Kamu kenapa? Kok nangis? Ada masalah apa? Daritadi siang kok gak keluar kamar?"pertanyaan Ibu membuat aku tidak bisa berkutik. Ibu mengetahui jika aku habis menangis sebab mataku sangat sembab.

"Eng...gapapa kok Bu. Dira sedih aja, biasa lah urusan anak muda."ujarku sambil tertawa kecil mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Beneran kamu gak apa-apa?"

"Ibu, Dira kan sudah besar. In syaa Allah bisa menyelesaikan masalah Dira sendiri."

"Yasudah. Makan dulu ayuk. Ada yang mau Ibu ceritain."

"Ceritain tentang apa Bu?"

"Kamu makan dulu. Nanti setelah itu baru Ibu ceritain."

"Dira gak nafsu makan, nanti malam aja makannya. Ibu mau cerita apa?"

Kembali untuk Pergi...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang