3. Healing System: Fajar
***
Aira membuka ulang catatan pada buku pelajarannya, mencari rumus yang ia perlukan untuk mengerjakan kertas-kertas latihan soal yang ia dapat dari tempat les sore tadi. Gadis itu mendecak kecil, mencoba untuk tetap fokus membaca tulisan tangannya.
Meski sedetik kemudian, Aira tak bisa untuk tidak melengos. Ia melempar asal pensil dalam genggaman tangannya, lalu menyandarkan punggung ke kepala kursi.
Gadis yang rambut keritingnya diikat tinggi itu menengadahkan kepala, menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang.
Sampai ketika sosok cowok berbaju hitam yang ia lihat di koridor siang tadi kembali melintas dalam kepala. Membuat Aira segera menggelengkan kepala.
Tidak mungkin, kan?
Aira bahkan belum sepenuhnya sembuh dari sakit hati. Kalau benar cowok itu adalah seseorang yang Aira kenal ... bagaimana cara gadis itu harus menghadapinya nanti?
Karena kini, ketika memikirkannya, Aira tidak yakin ia akan baik-baik saja.
Gadis itu menghela napas. Tangannya perlahan terangkat, menyentuh bahu kanannya yang pagi ini bertubrukan dengan seseorang.
Orang yang sama dengan cowok berjaket hitam di sudut koridor.
Seseorang dengan bau khas yang seolah sangat Aira kenal. Seseorang dengan suara berat yang pernah membuat darah Aira berdesir hebat.
Seseorang ... yang pernah menyakitinya, lalu pergi begitu saja.
Aira mendengus. Mau sekeras apapun gadis itu menyangkal, jika benar cowok itu telah kembali, Aira masih dapat merasakan sebersit bahagia dalam dirinya.
Dua tahun Aira menunggu. Dua tahun Aira larut dalam patah hati tanpa jawaban ataupun penjelasan.
Apa benar, penantiannya akan segera berakhir?
Aira menarik napas, jadi merenung dengan kelopak mengerjap lambat beberapa kali.
Sampai panggilan nyaring dari seseorang yang kemudian berlanjut dengan terbukanya pintu kamar Aira, membuat gadis itu kontan tersentak sadar.
Aira menoleh cepat. Menatap seorang gadis berusia lima tahun lebih tua darinya, kini tengah menatap Aira dengan wajah dan tangan yang penuh tepung.
Hal yang membuat Aira terperangah sampai hampir terjengkang mundur saking kagetnya. “Mbak Agnes. Mbak ngapain?” tanyanya sambil berusaha menenangkan diri.
Agnesia Almira, gadis yang memakai apron memasak warna hijau terang itu hanya menyengir, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. “Lagi coba bikin kue balok di dapur. Nanti cobain, ya?” tawarnya dengan nada semringah.
Aira melongo kecil. Gadis keriting itu menelan ludah, antara ingin menolak permintaan Agnes dan merasa tidak enak untuk berkata jujur.
Keluarga Aira memang punya bisnis kue kecil-kecilan di luar kota, meneruskan usaha milik kakeknya dulu. Ibu dan Ayahnya yang mengurus toko kue itu tentu sangat sibuk dan jarang pulang ke rumah.
Karenanya sejak SMP, Aira memang terbiasa berdua di rumah bersama kakaknya. Satu-dua kali ketika weekend, keduanya akan datang ke toko kue untuk mengunjungi orang tua mereka dan bantu-bantu di sana.
Minggu kemarin, Ibu mempersilakan Agnes untuk mencoba membuat kue. Awalnya Agnes menolak, apalagi gadis itu sama persis seperti Aira yang jarang berinteraksi dengan alat-alat dapur.
Tapi kata Ibunya, “Harus bisa dong, Nes. Kan besok kamu yang lanjutin usaha Ibu. Kamu sebagai anak tertua punya kewajiban untuk pintar bikin kue kayak Ibu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Jealous
Teen FictionKarena sejatinya, tidak akan ada cerita baru dari masa lalu. Lepaskan. Ikhlaskan. Mulai hidup yang baru, belajar dari yang lama. Semangat. - Jealous by pantoneshin - Start : 18 September 2018 End : 29 Januari 2019