19. Menikmati Luka
***
Aira terengah kecil. Masih dengan langkah yang setengah berlari, gadis itu bergegas mendorong pintu masuk klinik, lalu mengedarkan pandang dengan gerakan panik.
Suasana klinik itu cukup ramai oleh lalu-lalang. Melihatnya, Aira yang memang pada dasarnya sudah tak tenang, makin merasa kalut dan mual. Gadis keriting itu menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, mencoba menetralkan gejolak dalam perutnya.
Sampai sebuah sentuhan lembut di bahunya membuat Aira mendongak kecil dengan mata memerah menahan tangis.
Dewa merapatkan bibir, lalu menghela napas. "Lo tahu kamar rawatnya?" tanya cowok kurus itu, diam-diam sedang berusaha keras untuk menekan letupan ego dalam dirinya.
Aira terkesiap. Berikutnya menggeleng gamang. "Tadi ... lupa nggak tanya," balasnya dengan wajah yang jelas memias menunjukkan kebingungan. "Terus gimana?"
Dewa mendecak kecil. Aira dan kepanikan adalah dua hal yang tidak boleh disatukan dalam situasi apapun. Ia bergerak maju ke hadapan Aira, sejenak melepaskan helm yang masih terpasang di kepala gadis itu karena tadi setelah turun dari motor, Aira langsung melesat masuk tanpa berpikir lebih panjang.
"Kita cari kamarnya dulu," putus Dewa, lalu menggandeng tangan Aira menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya menenteng helm. "Ayo."
Aira mengerjap, lagi-lagi tertarik pasrah mengikuti langkah Dewa yang membawanya menuju ke meja informasi. Gadis itu samar dapat merasakan dadanya yang berdesir, meski perasaan khawatir dan nama Fajar tetap memenuhi seisi kepalanya.
Dewa berhenti tepat di depan meja panjang yang letaknya berada hampir di ujung lobi. "Permisi, Sus. Saya mau tanya."
Aira menggigit bibir, lalu mengedarkam pandang dengan tidak tenang. Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya, diam-diam menggunakan tangannya yang bebas dari genggaman Dewa untuk mencengkeram ujung kaosnya, benar-benar tidak bisa berpikir tenang.
Tadi, begitu melihat nama Fajar muncul di layar, Aira refleks mendecak. Masih merasa kesal mengingat bagaimana cowok jangkung itu merendahkannya pagi ini, entah secara sengaja maupun tidak sengaja.
Awalnya Aira ingin menekan tombol merah, menolak panggilan itu dan kembali fokus pada Dewa. Tapi kemudian, gadis itu justru menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke samping telinga.
Memilih untuk mengikuti intuisi dan rasa penasarannya daripada menuruti jalan yang diarahkan oleh gengsi.
"Apaan-"
"Halo? Gue Deni. Temennya Fajar. Gue udah bingung mau telepon siapa, dan nomor lo ada di daftar favourite Fajar, jadi ya udah." Kalimat itu berhenti, jeda beberapa saat. "Gue cuma mau ngabarin. Ini Fajar tadi jatuh dari motor, keserempet mobil. Bisa tolong ke sini nggak? Klinik deket GOR Maharga. Gue tunggu."
Saat itu, pada lima detik pertama, Aira masih membeku diam. Kemudian di detik selanjutnya, Aira refleks berdiri dengan raut memias.
Lalu ketika gadis keriting itu hampir mamacu langkah untuk berlari, tangan kurus Dewa segera mencengkeram lengannya. Menahan tindakan gegabah berdasar rasa panik itu.
"Mau ke mana?" tanya cowok kurus itu dengan suara tenang yang anehnya terasa mendesak dan menuntut.
Aira ingin menjelaskan, tapi kerongkongannya terasa tercekat dan lidahnya kelu tak bisa digerakkan. Maka pada akhirnya, gadis itu hanya bisa menggeleng dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
"Fajar," sebutnya dengan suara bergetar dan lirih.
Dewa nampak tersentak. Meski sepersekian detik berikutnya, cowok itu menipiskan bibir, berusaha untuk tetap terlihat datar dan tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jealous
Teen FictionKarena sejatinya, tidak akan ada cerita baru dari masa lalu. Lepaskan. Ikhlaskan. Mulai hidup yang baru, belajar dari yang lama. Semangat. - Jealous by pantoneshin - Start : 18 September 2018 End : 29 Januari 2019