4. Firasat

4.2K 630 30
                                    

4. Firasat

***

Aira berjalan keluar dari dalam rumahnya sambil menunduk menggulir layar ponsel. Gadis yang sudah rapi memakai seragam putih abu-abu itu sebenarnya hampir memesan gojek untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi langsung urung saat mendengar suara klakson dari halaman depan.

Begitu melongokkan kepala untuk memeriksa, mata Aira perlahan melebar terkejut. Lalu berikutnya, ia berdecak refleks dan melangkah menuju ke gerbang depan.

"Kenapa di sini, sih? Kan gue udah bilang mau berangkat sendiri," kata Aira begitu sampai di luar gerbang, mengajukan protes tanpa ragu.

Fajar yang duduk menunggu di atas motornya itu hanya mencibir. "Mulai hari ini berangkat-pulang bareng gue. Nggak terima penolakan," balasnya setengah memaksa.

Aira melotot. Awalnya ingin menolak dengan keras kepala seperti biasanya. Tapi melihat wajah pucat Fajar, gadis keriting itu mendadak beku.

"He, Curut." Aira berjalan satu langkah mendekat untuk melihat lebih jelas. "Lo sakit?"

Fajar mengerjap, sontak termundur kaget ketika tangan Aira terulur untuk memeriksa suhu keningnya. Cowok jangkung itu tergagap, lalu segera mengalihkan pandangan ke arah lain.

"A ... nggak kok." Fajar merutuk dalam hati, menyumpahi jantungnya yang tak bisa berdetak normal. "Gue nggak apa-apa."

"Tapi lo pucet," sahut Aira secepat yang ia bisa, jelas tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. "Kenapa sih? Perasaan tadi malam nggak kenapa-kenapa."

Fajar menelan ludah. Sedikit melirik ke arah Aira yang sudah memberikan tatapan menyelidik. "Semalam gue makan bawang," katanya dengan suara melirih.

Aira membulatkan mata. "Bawang? Kok bisa?" tanyanya kembali.

"Kuenya Mbak Agnes."

Aira tersedak kecil, padahal tidak sedang meminum apa-apa. "Ha?" Gadis itu sejenak diam berusaha mencerna. "Mbak Agnes ... bikin gue balok pakai bawang?"

Fajar menarik napas, lalu mengangguk dengan wajah menciut takut-takut. "Gue nggak enak kalau nggak habisin kuenya tadi malam. Mbak Agnes udah kelihatan seneng gitu kan," ucapnya kemudian.

"Dan lo muntah?"

Lagi, Fajar menganggukkan kepala. "Tapi gue udah baik-baik aja kok, seriusan deh." Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, berusaha meyakinkan Aira.

Tapi bukannya percaya, Aira malah mendecak dan memukul kepala Fajar dengan gerakan gemas. "Nggak apa-apa gimana sih. Lo sampai pucet gitu," balasnya yang hanya disambut ringisan kesakitan oleh Fajar.

Fajar mendengkus saja, lalu kembali membuang muka ke arah lain. Merasa malu karena ketahuan muntah hanya karena makan bawang putih.

Sejak kecil, Fajar memang punya alergi aneh pada bawang putih. Ketika mencium aroma bawang putih, Fajar akan bersin sampai hidungnya merah. Ketika makan bawang putih, satu iris saja, perut Fajar akan bereaksi aneh yang kemudian membuat cowok itu muntah.

Tadi malam, sepertinya Agnes lupa pada alergi Fajar dan memasukkan bawang putih ke kue buatannya. Entah sengaja atau tidak sengaja, karena setahu Aira, tidak ada adonan kue yang memakai bawang putih sebagai bahan bakunya.

Aira menggaruk pipi kanannya yang sebenarnya tak terasa gatal sama sekali. Lama-lama tidak tahan juga dengan resep kue gagal buatan Agnes yang katanya ingin menciptakan inovasi baru.

Aira kembali menatap ke arah Fajar. "He, nggak usah sekolah deh. Nanti kalau lo pingsan gimana?" usulnya sambil memukul pelan lengan Fajar agar perhatian cowok jangkung itu kembali padanya.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang