14. Sunset

3.1K 434 56
                                    

14. Sunset

***

Aira menelan teguk, duduk dengan kaku di boncengan motor Dewa sambil mengulum bibir. Gadis itu berusaha untuk terus menegapkan punggung di sepanjang perjalanan, terlalu kikuk untuk duduk merapat ke punggung tegap Dewa yang membuatnya berdesir aneh.

Meski kemudian, Aira tak bisa menahan diri untuk tidak mendengus. Merasa bodoh karena bisa berdebar hanya karena Dewa kini berjarak kurang dari satu meter darinya.

Padahal cowok kurus itu tak melakukan apa-apa selain berkendara dengan benar.

Kenapa hati Aira selemah ini sih?

Aira merutuk kecil, lalu memilih untuk mengamati sekitar daripada sibuk menetralkan detak jantungnya sendiri. Ia menarik napas, merasakan angin sore yang perlahan menerpa wajahnya.

Motor Dewa kemudian berbelok, kini melewati ruko yang hampir sama satu dengan yang lainnya. Aira mengernyit kecil, merasa tidak asing dengan dereran ruko itu, tapi segan untuk bertanya.

Begitu Dewa memberhentikan motornya di pelataran toko aksesoris yang ada di ujung jalan, Aira bergegas turun dari boncengan motor.

Gadis keriting itu mengedip beberapa kali, sejenak meneliti toko dengan nuansa merah muda di hadapannya. Aira kembali mengerutkan kening sambil melepas helm, mencoba menggali ingatannya tentang tempat ini.

Meski gadis itu jadi berdecak samar ketika tangannya yang berkeringat kesulitan membuka pengait helm. Membuat Aira tiba-tiba larut sendiri dalam usahanya melepaskan helm.

Sampai-sampai tidak sadar jika kini, Dewa tengah menatapi Aira dengan bibir berkedut menahan senyum geli. Cowok itu menggigit bibir, berusaha menguatkan hati melihat Aira yang sudah mencebik sebal.

Dewa berdeham, sesaat mengedarkan pandang untuk menenangkan diri sendiri. Lalu setelahnya, ia bergerak maju dan mengulurkan tangan.

"Kan gue udah bilang," kata cowok kurus itu dengan suara dalam dan berat khasnya. "Kalau kesusahan itu minta tolong, bukan maksain diri."

Aira terkesiap, refleks termundur kecil ketika Dewa menundukkan badan dan memiringkan kepala ke arahnya. Gadis itu membulatkan mata, diam-diam menahan napasnya.

Sementara Dewa, meski debar jantungnya juga sama kacaunya dengan Aira, tetap berusaha untuk tak peduli banyak. Kini sudah fokus menekan-nekan tombol pengait helm di bawah dagu Aira.

Aira mengepalkan kedua tangan di samping badan, makin merasa berdesir ketika ujung jari Dewa tak sengaja menyentuh dagunya.

Gadis itu rasanya ingin melumer menjadi jelly saja jika sudah begini.

Berikutnya, setelah bunyi klik samar terdengar, Aira pikir penyiksaan terhadap jantungnya akan segera selesai. Namun, gadis keriting itu justru salah besar.

Apalagi ketika Dewa tiba-tiba menaikkan pandangan, menatap tepat ke mata Aira yang sudah melebar tertegun. Lalu tanpa diduga, cowok kurus itu melengkungkan senyum.

Membuat Aira hampir jatuh terjengkang ke belakang dengan pipi merona merah jika saja tangan kanannya tak mencengkeram motor Dewa. Gadis itu dapat merasakan tungkainya yang melemas tanpa sebab.

"Dah. Ayo masuk."

Aira kembali mengerjap, mendadak limbung seolah jiwanya melayang pergi ketika Dewa berbalik dan masuk terlebih dahulu ke dalam toko aksesoris. Meninggalkan Aira yang langsung memegangi dada dirinya, merasakan debar kencang di sana dengan seulas senyum.

Tolong jangan tanya seberapa ambyar perasaan Aira saat ini. Rasanya jika bisa, gadis itu ingin pingsan saja.

Aira menggeleng kecil, berusaha menyadarkan diri. Setelah memindahkan helm dari kepala ke jok motor, gadis keriting itu bergegas menyusul Dewa.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang