27. Berlari

2K 330 45
                                    

27. Berlari

***

Nadia menggerutu kecil, berulang kali mengumpat kasar dengan tangan yang tak berhenti menulis dan menyalin tugas dari tulisan rapi Aira ke buku tulisnya sendiri. Gadis itu nampak mendecak, lalu melemparkan pensilnya ke atas meja.

Membuat Aira yang tadinya sedang memijit pangkal hidung sambil membaca soal di buku fisikanya, langsung menoleh kaget dengan mata melebar.

"Apa sih, Nad?" tanya gadis keriting itu yang langsung disambut rengekan panjang oleh Nadia.

"Laper, Ai." Nadia mengerucutkan bibir, menatap kini suasana kelasnya yang hampir kosong. "Gue belum sarapan. Tapi masih harus ngerjain tugas super banyak ini. Lama-lama, gue bisa gila."

Aira melengos. "Siapa suruh nggak ngerjain di rumah?" cibirnya kemudian, setengah menyalahkan.

Nadia melotot. "Gue semalam belajar main gitar ya, Ai. Kan mau masuk ekskul musik," balasnya mencoba membela diri.

Aira mendelik terang-terangan. "Dih? Yakin belajar? Bukannya stalking akun kakak kelas ketua ekskul musik?" sahutnya yang membuat Nadia cengengesan.

"Dua-duanya sih."

Aira melengos. Merasa cukup heran karena kini, hati Nadia dengan mudahnya sudah teralih dari Fajar menuju ke kakak kelas ketua ekskul musik.

"Dah ya. Bodoamat. Gue mau makan ke kantin," kata Nadia sambil bangkit berdiri. "Ikutan nggak?"

Aira menggeleng. Lalu dengan itu, Nadia segera melesat pergi. Setengah berlari karena harus berkejaran dengan jam istirahat yang tersisa sepuluh menit.

Membuat gadis keriting itu melengos geli. Awalnya sudah akan kembali fokus pada kertas latihan soalnya. Meski Aira sedikit terkesiap dengan mata melebar.

Baru sadar jika kini di dalam kelas, tinggal tersisa dirinya dan seorang cowok kurus di deretan belakang. Membuat Aira diam-diam tertegun dengan jantung yang mulai berdebar cepat.

Apalagi ketika Aira kini dapat merasakan seseorang di deretan belakang tadi bangkit berdiri dan melangkah mendekatinya. Membuat gadis keriting itu menelan ludah, lalu mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Aira." Suara berat itu terdengar lebih parah dari yang seharusnya. "Gue mau ngomong sesuatu."

Aira mendengus, berusaha untuk meneguhkan egonya sendiri. Gadis itu segera bangkit dan bersiap untuk melangkah pergi. "Nggak ada yang perlu diomongin," putusnya sambil berlalu.

Tapi belum satu langkah Aira pergi, tangannya langsung ditahan dari belakang. Membuat gadis keriting itu refleks mendecak dan menghempaskan cengkeraman di tangannya.

Aira berbalik cepat, melihat Dewa yang kini sedikit meringis sambil memegangi lengan kanannya. Aira sempat terkesiap, tapi berusaha untuk tidak menaruh peduli.

"Apaan lagi sih? Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita nggak usah saling bicara lagi," ucap Aira dengan nada bergetar yang jelas berusaha ditegarkan.

Dewa menarik napas, hampir membalas kalimat Aira jika saja gadis itu tak kembali memotong cepat.

"Jangan gini, Wa." Aira menggigit bibir dengan wajah teralih. "Gue nggak mau jadi batu sandungan buat hubungan lo yang baru."

Dewa melengos. Tebakannya ternyata benar. Selama ini, Aira salah paham. "Aira, denger dulu penjelasan gue," katanya mencoba membujuk.

Aira kembali berdecak, lalu mencoba mengangkat kepala untuk menatap Dewa. Meski ketika matanya tak sengaja menangkap memar samar di sudut mata dan tulang pipi Dewa, gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak terkesiap.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang