11. Perpustakaan

3.1K 441 43
                                    

11. Perpustakaan

***

Ketika Refan berdiri di depan kelas untuk mengatur teman-temannya agar tidak ribut sendiri, Aira justru merunduk sibuk menyalin catatan pelajaran dari hasil jepretan di ponsel ke buku tulisnya. Di meja sebelah, Nadia pun tak menggubris ceramah Refan dan memilih untuk menggulir feeds instagramnya.

"Ini kenapa semuanya pada pacaran pakai lagu Surat Cinta untuk Starla sih?" gumam Nadia tiba-tiba setelah sebelumnya diam khusyuk menatapi layar ponsel. "Kan gue pengen."

Aira mencibir. "Ya makanya kalau mau cari pacar itu yang realistis-realistis aja. Jangan halu terus," balasnya dengan nada santai.

Nadia kian memberengut. "Namanya jual mahal, Ai. Bukan halu," sanggahnya tak mau disalahkan. "Lagian cowok-cowok di sekitar gue nggak ada yang bening. Giliran ganteng dikit, eh udah jadi idola sesekolahan. Gue cuma apa deh kalau dibandingin cewek cantik di EHS. Ampas."

Aira langsung mendelik ketika Nadia mulai merengek heboh dengan suara tangis yang dibuat-buat. Aira menggeleng tak habis pikir, memutuskan untuk kembali fokus pada catatannya, merasa sedikit menyesal karena menanggapi celotehan Nadia.

Namun baru saja gadis itu meraih bolpoinnya, suara menggelegar Refan yang memanggil namanya langsung membuat Aira mengangkat kepala.

"Lo belum balikin buku ke perpus, kan?" tanya cowok berambut cepak itu dari depan kelas.

Aira meringis. "Iya nanti gue balikin kok," katanya yang langsung dibalas dengsan malas oleh Refan.

"Nanti kapan? Kemarin bilangnya juga nanti. Tapi kenapa bukunya masih di sini?" Refan melotot sebal. "Gue nggak mau ya, nanti dihukum beresin buku lagi di perpus."

Aira menghela napas. Sadar akan tanggung jawabnya, gadis itu akhirnya beranjak berdiri dan melangkah mendekati tumpukan buku di meja guru.

Setelah sesaat menghitung jumlah buku, Aira kembali menoleh ke arah Refan. "Ini gue bawa sendiri?" tanyanya berharap mendapatkan bantuan.

Refan menyatukan kedua alisnya. Sejenak memusatkan perhatiannya ke arah Aira. "Biasanya kan lo juga bawa sendiri, Ai." balasnya ringan.

Aira sedikit menyingkir untuk memperlihatkan tumpukan buku itu. "Tapi biasanya nggak setebal ini buku-bukunya," adunya lagi.

Refan merotasikan bola mata. "Ya terus gimana?"

"Gimana-gimana. Ya bantuin." Aira sudah melebarkan mata siap emosi.

Refan masih memasang wajah datar. "Gue mau ngurus kelas. Lo mau nanti desain kelas kita jelek?" balasnya sedikit memberikan ancaman.

Aira menciut mendengar siratan ketegasan dalam suara Refan. Gadis itu mengeruhkan wajah, lalu berbalik untuk mengangkat buku-buku dari atas meja.

Refan mengamati itu, jadi tidak tega juga membiarkan tubuh kecil Aira mengangkat dua puluh buku tebal yang sempat ia pinjam bersama wakil ketua tempo hari. Apalagi mengingat jarak kelas mereka menuju ke perpustakaan yang cukup jauh.

Namun Refan juga tak bisa membiarkan anggota kelasnya yang sudah heboh ke sana ke mari ini ditinggalkan sendirian tanpa ada yang mengatur.

"Ya udah bentar. Gue cariin orang," kata Refan yang langsung menginterupsi gerakan Aira hendak mencoba mengangkat buku.

Aira membinarkan mata. "Daritadi kayak gitu dong. Ya udah cepet," sahutnya merasa senang.

Refan menarik napas. Mulai memindai ke sekeliling kelas, mencari orang yang sekiranya dapat membantu Aira. Sampai pandangannya jatuh tepat ke arah seorang cowok berwajah angkuh yang duduk di deretan bangku belakang.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang