22. Surat

2K 309 73
                                    

22. Surat

***

Aira memberengut kecil sembari melempar asal bola basket di peluknya ke dalam gudang penyimpanan. Membuat Refan melotot melihat itu. Melakukan protes keras tanpa suara.

Sementara Aira hanya mendengus. Wajahnya langsung keruh begitu saja, dengan kening berkerut dan alis menukik.

“Kenapa sih, apa-apa harus gue. Balikin buku ke perpus gue. Sekarang, beresin alat olahraga, gue juga,” keluh gadis itu sudah manyun-manyun sebal.

Refan mencibir, sejenak menggelindingkan bola basket di samping kakinya masuk ke dalam gudang penyimpanan. “Ya karena emang cuma lo yang gampang disuruh-suruh,” jawabnya sambil berjalan kembali ke lapangan utama.

Aira mendecak. Mau tak mau mengikuti langkah lebar Refan. Meski tentu saja, bibrinya tiada henti menggerutu dan menggumam dengan nada sebal yang tak begitu jelas.

Sekarang sudah pergantian satu jam terakhir pelajaran olahraga. Murid-murid kelasnya langsung menghambur begitu bel dibunyikan.

Ada yang ke kantin, kafetaria, atau bahkan kembali ke kelas untuk mengambil baju dan berganti seragam. Sayangnya, tak ada yang peduli untuk membereskan alat-alat olahraga itu.

Membuat Refan harus mengalah dan memungutinya sendirian. Awalnya memang sendiri. Tapi ketika melihat Aira datang membawa satu buah bola basket yang tadi terlempar jauh ke pinggir lapangan, Refan memaksa gadis itu untuk membantunya.

Aira sebenarnya ingin protes dan menolak. Meski ketika memikirkan cowok berkacamata itu membereskan alat-alat olahraga yang menyebar ke sepenjuru lapangan seorang diri, Aira tidak bisa untuk tidak merasa kasihan.

Maka selama sepuluh menit ini, gadis itu terpaksa bertahan dan menuruti dorongan hatinya.

Aira sedikit menunduk untuk mengambil bola warna oranye di bawah ring basket sudut lapangan.

Meski berikutnya ketika melihat gadis-gadis yang merupakan teman sekelasnya saling menggerombol dan berbelok ke arah kantin, Aira mengerucutkan bibir.

Hari ini, Aira berniat untuk makan bakso di kantin sekolah bersama dengan Nadia dan beberapa teman sekelas. Kalau datang saat istirahat, Aira sedikit kesulitan karena kakak kelas akan mendominasi di sana.

Makanya, satu jam terakhir pelajaran olahraga seperti inilah satu-satunya kesempatan Aira untuk makan dengan nyaman di kantin.

Tapi lihat sekarang, gadis itu justru masih sibuk berlari ke sana ke mari memunguti bola basket dan merelakan waktu memakan baksonya.

Aira menghela napas.

“Kusut amat muka lo,” komentar Refan seraya mengambil alih bola basket di tangan Aira.

Aira melengos. “Gara-gara lo nih,” tudingnya menyalahkan, padahal ia berada di sini juga atas keputusannya sendiri.

Refan mendelik. “Dih apaan,” balasnya tak terima karena tiba-tiba dituduh begitu. “Dah sana. Balik ke kelas.”

Aira membinarkan mata. “Udah selesai?” tanyanya langsung semringah.

Refan sesaat menatap geli. Namun, cowok itu hanya menggumam singkat dan berbalik menuju ke gudang penyimpanan.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang