9. Blossom

3.4K 508 11
                                    

9. Blossom

***

Dengan napas yang terengah-engah, Fajar menjatuhkan diri ke tepi lapangan futsal yang telah ia sewa bersama teman-temannya. Cowok itu kini berbaring telentang, menatapi langit-langit gedung dengan dada naik-turun tak beraturan.

Randi yang tengah berjalan menyusul Fajar, sontak mendengkus melihat pemandangan itu. Setelah mengambil tempat di samping Fajar, sembari membuka botol air mineral yang tadi dibeli patungan, ia berujar tenang, "Telepon, Jar. Kalau lo khawatir."

Fajar masih memandang kosong. "Buat apa? Dia pasti bisa pulang sendiri," lirihnya seperti sedang meyakinkan diri sendiri.

Randi menghela napas. Cowok yang setahun lebih tua dari Fajar itu tak lagi menyahuti dan memilih untuk meneguk air mineral di tangannya.

Fajar melengos, beranjak duduk dengan pikiran tidak tenang. Ia meraih tasnya, mengeluarkan ponsel dan memeriksa notifikasi yang masuk.

Lima panggilan tak terjawab. Tiga puluh pesan.

Dari Aira.

Fajar berusaha meninggikan egonya. Membaca pesan-pesan itu melalui pop up tanpa membukanya. Meski hatinya kian meresah mendapati terakhir Aira mengirimi pesan adalah pukul enam tepat dan kini sudah hampir pukul tujuh.

Fajar mengembuskan napas keras-keras. Melemparkan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu mengusap wajahnya yang dipenuhi peluh.

Berikutnya, cowok itu jadi merenung sendiri.

Fajar sebenarnya tak mengerti mengapa dirinya jadi meninggalkan Aira, padahal biasanya ia rela menunggu berjam-jam demi memastikan gadis itu pulang dengan selamat.

Fajar juga tak dapat menjelaskan mengapa dirinya tak mau membuka pesan dari Aira dan hanya diam-diam membaca melalui pop up layar.

Fajar sungguh tidak tahu. Satu yang pasti, cowok itu terus terbayang percakapan-sialan yang tak sengaja ia dengar ketika sedang berada di UKS. Obrolan sederhana yang entah mengapa, terdengar seperti nostalgia. Obrolan sederhana, yang entah bagaimana, terasa seperti sesuatu yang telah lama dinantikan untuk terjadi.

Bahkan tanpa melihatnya pun Fajar dapat membayangkan rona gembira di wajah Aira saat berbicara dengan cowok yang entah siapa itu.

Fajar berdeceh. Mendadak merasa marah dan tidak terima, entah karena apa.

Anehnya, Fajar seperti mengenal suara milik cowok itu. Sesuatu yang membuatnya kini semakin bertambah resah tanpa sebab.

"Anteng banget, Jar. Mikirin apa sih?" Deni mendadak ikut bergabung, menyeruak di antara Randi dan Fajar yang terpaksa bergeser kecil dengan dengkusan merasa terganggu.

Randi melirik Fajar yang seperti belum sepenuhnya kembali dari lamunan. "Galau dia, Den," katanya, lalu tersenyum miring.

Deni menilik raut Fajar. "Kenapa, Jar? Keselip lagi?" tanyanya jenaka.

Fajar mendorong wajah Deni agar menjauh dari hadapannya. "Bacot anjir," ujarnya pedas.

"Wah, apaan nih? Menghujat Deni kok nggak ajak-ajak?" Adit dan Tama ikut-ikutan mendekat, menyengir lebar ketika Deni menoleh sewot.

Fajar menghela napas. Tangannya bergerak memijit pangkal hidung dengan mata memejam lelah.

"Apasih, Jar. Jangan sok frustasi minta dikasihani gitu dong. Nggak pantes," ucap Tama yang tengah membuka tutup botol air mineral jatahnya itu.

Deni mengangguk setuju. "Lagian lo kenapa sih? Perasaan tadi pas datang muka lo sepet kayak orang banyak utang," sambungnya kemudian.

Fajar diam sesaat. Menimang apakah harus menceritakan keresahannya atau tidak. Namun pada akhirnya, cowok itu menarik napas dan mulai berujar, "Gue takut."

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang