16. Maaf
***
Fajar duduk memangku gitar di balkon kamarnya. Cowok itu kini menengadah kecil menatapi langit gelap yang terlihat tanpa bintang.
Gitar yang baru saja ia temukan berdebu di gudang rumah itu perlahan kembali ia petik senarnya meski secara asal karena ia jelas terlihat tidak fokus.
Fajar menarik napas.
Sekarang sudah pukul setengah delapan malam, dan Aira sama sekali belum pulang ke rumah.
Fajar khawatir, tentu saja. Rasanya gatal untuk menelepon, tetapi cowok itu berusaha untuk menahan diri.
Setidaknya sampai gadis itu kembali nanti, Fajar masih ingin menikmati egonya. Berlagak marah dan tidak peduli. Padahal sebenarnya sudah rindu setengah mati.
Fajar menyendukan pandangan.
Jika saja Dewa tak pernah kembali. Jika saja Aira dulu tak pernah jatuh cinta. Apakah Fajar masih punya kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar sahabat?Fajar menurunkan gitar dari pangkuannya.
Kini jadi merenung sendiri.
Selama ini, Fajar sangat pandai berpura-pura. Ia selalu berhasil berbohong atas segala perasaan yang muncul di hatinya, bahkan pada diri sendiri.
Kemarahannya pada tempo hari itu seolah menjadi peringatan bahwa hati Fajar tak bisa seterusnya menunggu dalam bisu.
Fajar harus mengungkapkan perasaannya.
Tapi bagaimana?
Fajar tidak mau jika nantinya, cowok itu justru menyakiti Aira.
Fajar tidak sudi jika dirinya harus menjadi alasan mengapa Aira menangis, sebagaimana Dewa melakukannya dua tahun silam.
Fajar tahu benar, cinta memang menyenangkan, tetapi juga menyakitkan pada waktu yang bersamaan. Fajar tak mau mengambil risiko dengan memberi Aira sekuntum bunga, tetapi juga menyimpan pisau tajam di balik punggungnya.
Sedangkan dengan menjadi seorang sahabat, Fajar merasa bahwa dirinya bisa melindungi Aira tanpa harus takut akan menyakiti gadis itu.
Namun sialnya, seseorang dalam dirinya menuntut lebih daripada itu. Ego dan perasaannya sendiri.
Fajar mengacak rambut. Cowok itu mendengkus keras. Apakah memang serumit ini jika persahabatan telah terkontaminasi oleh rasa cinta?
Fajar terkesiap sendiri. Namun beritkutnya, perhatian cowok itu langsung teralih ketika ia mendengar suara mesin motor yang mendekat dari kejauhan.
Fajar sesaat menyipitkan mata. Lalu berikutnya jadi memundurkan posisi duduk, berusaha untuk menyembunyikan diri sendiri.
Mengintip kecil, Fajar dapat melihat Aira turun dari boncengan motor seorang cowok yang berhenti di depan pagar rumah itu.
Wajah Aira bersinar cerah.
Dan demi apapun, Fajar benci fakta jika Aira juga dapat bahagia tanpa dirinya.
Aira terlihat sesaat mengatakan sesuatu, sebelum akhirnya melambai membiarkan cowok tadi kembali melajukan motor menjauh dari tempatnya berdiri.
Fajar menarik napas, berusaha untuk sedikit meredakan sesak di bagian dadanya. Karena bahkan tanpa kesulitan menerka pun Fajar sudah tahu siapa cowok yang mengantar Aira itu.
Siapa lagi kalau bukan Sadewa?
Ketika Aira mulai melangkah memasuki rumah, cowok jangkung itu berusaha untuk memasang ekspresi sesantai mungkin sambil kembali memangku gitar dan bersenandung kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jealous
Teen FictionKarena sejatinya, tidak akan ada cerita baru dari masa lalu. Lepaskan. Ikhlaskan. Mulai hidup yang baru, belajar dari yang lama. Semangat. - Jealous by pantoneshin - Start : 18 September 2018 End : 29 Januari 2019