29. Putus

1.8K 327 47
                                    

29. Putus

***

Angin berembus pelan, menyapu hamparan hijau dengan gundukan datar di beberapa tempatnya. Mengantarkan hawa dingin yang seolah menjadi pertanda akan kedatangan sang hujan yang semakin dekat.

Keheningan menyelimut di sepenjuru tanah lapang itu. Tidak ada aktivitas yang berarti di sana, membuat kata sepi saja seolah tidak cukup untuk menggambarkan suasananya.

Ada ketegangan dan pilu yang mencekam kuat. Juga sisa-sisa tangis serta tanah merah yang masih basah di sejumlah titik. Menegaskan bahwa tempat ini adalah pengantar sebuah kehilangan.

Dewa berdiri kaku di depan sebuah gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan hijau. Tangan kanannya terkepal kuat, sementara matanya perlahan mengeja huruf yang tertera di nisan penanda.

Dua tahun sudah berlalu, tapi Dewa masih merasakan sesak yang langsung menghimpit dadanya ketika membaca nama sang ibu di batu nisan. Cowok kurus itu menelan teguk, lalu menggigit bibir.

Setelah berulang kali menghela napas, Dewa akhirnya menurunkan tubuh dan mengubah posisi menjadi berjongkok. Ia mengambil sekepal bunga yang tadi dibeli dari penjual dekat gerbang masuk, lalu menaburkannya ke atas makam sang ibu.

Lalu berikutnya, Dewa memejamkan mata dan menengadahkan tangan. Cowok itu memang jarang berdoa, kadang masih sering lupa pada ibadah wajibnya.

Tapi kali ini, ia berdoa dengan hati yang paling tulus. Memohon dengan amin paling serius. Berharap agar setidaknya, Tuhan mau mendengarkan permintaan orang yang sering lupa sepertinya.

"Mama apa kabar?" tanya Dewa dengan nada canggung dan suara lirih. "Maaf Dewa baru bisa datang. Maaf juga karena dulu ... Dewa nggak ikut antar Mama ke sini."

Dewa menarik napas, perlahan mulai mencabuti rerumputan liar yang tertangkap oleh matanya. "Dewa sekarang tinggal di Jogja, Ma. Berdua sama Bintang," lanjutnya terus bercerita satu arah. "Kita masih sering berantem. Tapi udah nggak separah dulu."

Dewa kini jadi menatap menerawang. "Dewa ikut kelas gambar. Tapi cuma dua minggu terus keluar. Nggak ada apa-apa sih, cuma gurunya terlalu terpaku sama konsep. Padahal seni kan soal rasa," katanya kemudian.

Dewa menghela napas, lalu perlahan tersenyum samar. "Mama inget nggak sama cewem yang pernah aku ceritain?" tanyanya mengingat dulu ketika sang ibu masih terbaring koma di rumah sakit, ia sering bercerita tentang orang yang dimaksudkan. Meski tentu saja ceritanya hanya satu arah tanpa balasan seperti sekarang.

Tapi Dewa tak terlalu mempermasalahkan. Sebagai seseorang yang lebih sering diam dan mengamati, bisa bicara panjang lebar seperti sekarang saja sudah cukup menyenangkan.

"Dewa ketemu lagi sama dia." Dewa mengulum bibir, kembali teringat kali pertama cowok itu sengaja menubrukkan diri pada Aira di koridor sekolah yang ramai. "Dewa nggak nyangka bisa balik dan lihat dia lagi, Ma. Dewa seneng banget, rasanya pengen ulang semuanya dari awal."

Cowok kurus itu mengerjap dengan pandangan meredup. "Tapi Dewa tahu, Dewa nggak bisa ulang apa-apa. Semuanya udah beda." Dewa tertawa sumbang. "Dewa egois banget, Ma. Minta dia buat balik kayak dulu saat Dewa sendiri udah jadi orang lain."

Dewa menatap batu nisan di depannya dengan hela napas berat. "Tapi Dewa sayang dia, Ma. Sayang banget." Cowok itu menipiskan bibir. "Di satu sisi, Dewa nggak mau nyakitin dia. Makanya setelah ini ... Dewa mau lari lagi."

Dewa sedikit menegapkan punggung, lalu perlahan mengelus nisan sang ibu. "Maaf ya, habis ini Dewa nggak bisa sering-sering ke sini. Kalau Mama kangen, Mama boleh kok datang ke mimpi Dewa," katanya dengan suara melirih.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang