20. Bangun dari Mimpi

2.6K 369 9
                                    

20. Bangun dari Mimpi

***

Dewa baru keluar dari ruang UKS ketika sekolah sudah benar-benar sepi, sekitar dua jam setelah bel pulang berbunyi. Cowok kurus itu memang punya kebiasaan datang ke UKS setiap pulang sekolah untuk tidur siang, atau sekadar datang tanpa tujuan yang kemudian berakhir melamun sendiri.

Epik High School termasuk sekolah yang cukup aktif menyelenggarakan berbagai event besar, sehingga kadang sangat sibuk pada bulan-bulan tertentu. Ditambah lagi, beberapa murid yang sering membuat kehebohan dan menambah ramai suasana di sekolah itu.

Sehingga bagi Sadewa yang kurang nyaman dengan keramaian, ruang UKS menjadi tempat paling aman kedua setelah perpustakaan. Tidak banyak yang datang ke UKS di jam pulang sekolah. Begitu juga perpustakaan yang sering Dewa datangi di saat istirahat.

Dewa menarik napas, sejenak mengucek kedua matanya yang masih terasa lengket dan berat sisa tidur siangnya hari ini. Cowok kurus itu meluruskan kedua tangannya ke udara, kini jadi menguap panjang dan mengulet merenggangkan otot-ototnya.

Lalu ketika sepasang mata kecilnya kembali terbuka, Dewa tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut dan termundur refleks melihat kehadiran seseorang, tepat beberapa meter di hadapannya.

Dewa terbatuk, mendadak merasa malu seolah ketahuan maling ayam. Sementara cowok jangkung itu hanya mengerjapkan mata, juga terlihat sama canggungnya dengan Dewa.

Fajar menggaruk belakang telinganya. "Ngapain lo?" tanyanya berusaha untuk membuka suara terlebih dahulu.

Dewa mengatupkan bibir, lalu menunjuk kecil ke arah ruang kesehatan. "Bangun tidur," jawabnya kemudian, tak tahu juga mengapa dirinya sampai menanggapi pertanyaan Fajar.

Fajar mengangguk saja, sebenarnya tak terlalu mau tahu. "Mbak Indah ada?"

"Nggak." Dewa berdeham sebentar. "Udah pulang daritadi."

"Oh."

Dewa mendengus. Karena tak mau berbasa-basi lebih lanjut, cowok kurus itu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langlahnya. Melewati tubuh tegap Fajar tanpa mengatakan satu patah katapun.

Fajar melengos saja, merasa lega karena bisa segera terbebas dari suasana aneh tadi. Lalu cowok itu juga lanjut berjalan dan masuk ke dalam UKS, hendak mengambil obat merah yang akan ia gunakan untuk mengganti perban lukanya.

Sementara Dewa, ketika sampai di belokan dekat tangga, cowok itu sejenak menoleh ke arah langit yang mendung gelap. Samar dapat mendengar suara gemuruh petir dari kejauhan.

Dewa mendecak, lalu mempercepat langkah menuruni satu-persatu anak tangga menuju ke lantai bawah. Berharap agar hujan setidaknya bisa tertunda hingga ia tiba di rumah dengan selamat.

Ketika ia hampir sampai di ujung tangga, cowok pucat itu sejenak memelankan laju kakinya karena merasakan getaran singkat di ponsel yang ia masukkan ke dalam saku jaket. Penasaran, Dewa akhirnya merogoh dan mengeluarkan ponselnya.

Meski gerakannya itu justru membuatnya tak sengaja menarik sebuah kertas foto yang kemudian jatuh dengan posisi terbalik di salah satu anak tangga. Dewa mengernyit, lalu memungut foto itu tanpa berpikir dua kali.

Mata sipit Dewa melebar samar, melihat kertas foto itu ternyata merupakan foto yang ia cetak tempo hari di ruang perpustakaan. Ada potret Aira yang tersenyum canggung di sana, juga Dewa yang berusaha untuk melengkungkan senyum walau akhirnya terlihat aneh dan tidak pantas.

Hal yang membuat bibir Dewa berkedut menahan senyum adalah ketika ia menyadari betapa rapat jaraknya dengan Aira ketika foto itu diambil.

Fotonya dan Aira di Galeri Nasional hari Minggu kemarin.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang