12. Marah
***
"Mbak Agnes beneran nggak lihat?"
Agnes yang sedang berkutat dengan adonan kue di meja dapur hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan itu kembali terdengar entah untuk yang keberapa kali sepanjang hari ini. Ia menoleh kecil, sesaat mengamati sang adik yang berjalan perlahan menuruni tangga rumah.
"Enggak, Adikku tersayang," jawab Agnes mulai gemas sendiri. "Lagian kalau Mbak tahu, ya udah Mbak kasih tahu ke kamu. Ngapain juga Mbak ngumpetin?"
Aira merapatkan bibir. Setelah mendudukkan diri di kursi makan, gadis yang baru selesai membersihkan diri itu bertopang dagu. Kini jadi menatap lurus dengan pandangan menerawang jauh.
Agnes mendatangi Aira sembari membawa dua piring nasi putih dengan lauk telur dadar. "Makan dulu," tegurnya saat melihat Aira sudah mulai melamun sendiri.
Aira mengerjap. Gadis itu mendekatkan sebuah piring yang disodorkan oleh Agnes, lalu menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulut.
Agnes yang mengamati itu jadi menghela napas. Merasa tak tega juga membiarkan sang adik yang biasanya bersemangat ketika makan, kini berubah lesu karena tak kunjung menemukan barang yang Aira cari sejak pulang sekolah.
"Emangnya kamu taruh gelang itu di mana?"
Aira memainkan nasi di atas piringnya sambil menghela napas. "Lupa," lirihnya kemudian.
Agnes refleks berdecak. "Makanya kalau punya barang yang sekiranya penting itu disimpan yang bener. Kalau udah cari-cari kayak gini kan kamu sendiri yang repot," katanya mengomel kecil.
Aira menciut diam. Tak berani menyahut meski dalam hati sudah ikutan marah-marah mendengar tuduhan kakaknya.
Aira mana tahu kalau sekarang akan membutuhkan gelang itu lagi. Bahkan sebelumnya, Aira juga sempat berpikir untuk membuangnya.
Agnes merapatkan bibir melihat Aira menunduk kecil di hadapannya. "Sekarang gini deh. Coba kamu ingat-ingat terakhir lihat gelang itu," ujarnya kembali, kali ini memberikan saran.
Aira mengerutkan kening, mulai menggali ingatan akan sejumlah kejadian pada hari-hari sebelumnya.
"Kalau nggak salah," mulai gadis itu menggumam sendiri. "Waktu aku selesai lihatin Mbak Agnes beres-beres kertas, kan aku ke kamar. Terus habis itu, pas aku mau ambil hape, gelangnya nggak sengaja kesenggol jatuh. Terus...."
Kalimat Aira menggantung sejenak. Dalam diamnya, gadis itu mencoba menghubungkan ingatan-ingatan lain yang menyusul muncul dalam kepalanya.
Sesaat berikutnya, Aira menjentikkan jarinya. "Mbak Agnes. Katanya Fajar datang kan pas aku ketiduran di kamar?" tanyanya dengan nada memastikan.
Dengan mulut yang masih sibuk mengunyah makan malamnya, Agnes menyatukan kedua alisnya. "Kapan?"
Aira mendecak tak sabaran. "Itu. Waktu Mbak Agnes beres-beres kertas bekas materi kuliah."
Agnes berpikir sejenak. "Oh iya," sahutnya kemudian. "Fajar emang ke kamar kamu. Mau ngasih tahu bulat, tapi katanya kamu udah tidur. Paginya kamu juga tanya kan kenapa ada plastik tahu bulat di kamarmu."
Aira manggut-manggut. Ia mencoba untuk kembali mengingat. Namun sepertinya setelah malam itu, Aira tak melihat keberadaan gelang anyam hitam yang biasanya ia letakkan di atas nakas samping tempat tidurnya.
"Mbak, aku ke rumah Fajar dulu ya. Bentar," pamit Aira sambil beranjak bangkit dan melangkah terburu meninggalkan ruang makan tanpa terlebih dahulu mendengarkan sahutan dari sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jealous
Teen FictionKarena sejatinya, tidak akan ada cerita baru dari masa lalu. Lepaskan. Ikhlaskan. Mulai hidup yang baru, belajar dari yang lama. Semangat. - Jealous by pantoneshin - Start : 18 September 2018 End : 29 Januari 2019