XXXII: The Last Word

1.3K 263 67
                                    

Kita hanya ditakdirkan bertemu bukan bersatu.

***

"Sejak kapan?"

Pertanyaan ini yang tercetus pertama kalinya dari mulut Jung Kook. Ketika tak ada lagi kepercayaan yang dirasakannya terhadap Tae Hyung, raut Jung Kook berubah kian pias.

"Kook-ah, aku bisa jelaskan--"

Jung Kook menyela cepat ucapan Tae Hyung. "Apa jauh sebelum aku mengenalnya? Atau setelah gadis itu tidak lagi berwujud hantu?" sebetulnya Jung Kook tidak perlu lagi bertanya kapan foto itu diambil karena dia sudah tahu dari baju dan style rambut Tae Hyung dalam foto. Tapi tetap saja Jung Kook sekedar ingin memastikan.

"Tanpa bertanya pun kau sudah tahu jawabannya." Tae Hyung menatap nanar Jung Kook.

Terlihat Jung Kook tersenyum sinis tanpa suara. "Sepertinya aku yang paling menyedihkan di sini."

"Kook-ah..."

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" Jung Kook yang sedari tadi menunduk mulai memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap Tae Hyung. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau hantu itu adalah kekasihmu?! Jika aku tahu dari awal, aku tidak akan membiarkan hantu itu terus-terusan mengikutiku! Dan aku tidak akan jatuh hati pada gadismu..." di kalimat terakhir, nada bicara Jung Kook melemah.

"Aku minta maaf..." kesepuluh jemari Tae Hyung bertaut erat.

Memang ini semua murni kesalahannya. Seharusnya Tae Hyung bisa lebih berani berkata jujur sebelum masalahnya menjadi rumit. Namun mau dikata apa, Jung Kook terlanjur tahu dengan cara menyakitkan seperti ini.

Tidak ingin berlama-lama bersama Tae Hyung, Jung Kook memutuskan bangkit dari duduknya. Tanpa mengatakan apapun ia berjalan gontai menuju pintu keluar dorm.

"Kau sanggup menyetir sendiri?" spontan Tae Hyung ikut berdiri. Terselip rasa cemas dari nada bicaranya.

Jung Kook berhenti sejenak lalu membalas seperti ini. "Jangan bertingkah seolah kau peduli padaku." dan selanjutnya pemuda itu berlalu dari sana.

***

Belasan panggilan masuk di ponselnya tak ada satupun yang Jung Kook acuhkan. Lama-lama pemuda itu mematikan ponselnya. Sama sekali tak ingin diganggu.

Biasanya di jam segini Jung Kook sedang berlatih dengan member BTS yang lain. Sayangnya, Jung Kook tak memiliki niat untuk mengemudikan mobilnya menuju tempat latihan. Sehabis dari dorm BTS, ia justru menepikan mobilnya di tepi sungai Han.

Angin berhembus menerbangkan anak rambutnya. Jung Kook mengenakan kupluk hoodie-nya. Biasanya di saat dia merasa gelisah seperti ini, Sin Bi akan datang dan mengatakan.

"Jeon, aku lapar... Buatkan aku makanan yang lezat."

Memang semakin menambah kekesalan Jung Kook, namun setidaknya dapat mengurangi beban pikiran dalam benaknya karena ada suatu hal yang dia kerjakan.

Di sisi jembatan berpegangan besi, Jung Kook berdiri sembari melamun dalam diam. Besi jembatan dijadikan sebagai tempat topangan kedua siku lengannya. Kepalanya menunduk. Menahan setetes cairan bening yang sebentar lagi keluar dari sudut netranya.

Lemah?
Tidak. Menangis bukan berarti laki-laki itu lemah.
Menangis karena tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan. Bukankah seorang laki-laki yang menangisi seorang gadis yang dicintainya menandakan bahwa laki-laki itu memiliki perasaan yang tulus untuk gadis itu?

Dan, itu yang dilakukan Jung Kook sekarang.

Terkadang takdir memang selucu itu. Tidak cukupkah ia kehilangan adik kesayangannya?
Saat Jung Kook mulai bangkit dari keterpurukan kematian sang adik, dan saat setitik kebahagiaan muncul di kehidupannya berkat gadis itu, akankah semesta tega melenyapkan kebahagiaan Jung Kook lagi?

UNSEEN ( jjk x heb )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang