Prolog

6.9K 215 27
                                    

Tas yang masih menempel di punggungku bergoyang, mengikuti irama jejakan kaki yang kupercepat. Gudang yang mengurung Wayan sudah ada didepan mata.

Pasti disana dia sudah sesenggukan karena takut. Apalagi bangunan tua ini tentu dipenuhi kecoa, tikus, buku-buku bekas. Kemarin saja aku tak sengaja melihat Pak Ismun memasukkan beberapa kursi sekaligus bangku reot kesana.

Penuh hati-hati aku membuka pintu.

"Wayan!" kupanggil dia, Namun tak ada sahutan. Apa dia dibekap?

Di muka pintu, hanya keremangan yang menyapa. Bau-bau debu mulai mengisi rongga hidung. Akupun masuk dengan langkah tak pasti. Sambil memanggil-manggil nama Wayan lagi.

Belum sampai tangaku meraih saklar untuk menyalakan lampu, seseorang mendorongku kuat-kuat. Tak terelakkan, tubuhku semakin masuk kedalam, menabraki benda-benda yang ada di depanku.

"ARRGH!" pekikku.

Pencahayaan yang kurang membuat perutku mencium benda keras. Itu pasti meja kayu. Rasanya sakit ketika perutku tepat mengenai ujungnya. Bukankah baru saja semangkuk mi ayam masuk ke dalam sana. Rasanya sakit tercampur mual.

Seperti tuna netra aku di dalam sana. Meraba-raba mencari sedikit cahaya.

"Muka doang alim! tapi mulut loe bangkai juga ternyata!" suara siapa itu!

Kudengar seseorang menutup pintu.

Kenapa dia menutup pintunya?

Aku was-was.

Apa dia yang tadi mendorongku kasar?! Apa jangan-jangan itu Ucha?! Kurasa dia juga akan mengerjaiku.

Karena takut tubuhku menabrak sesuatu hingga benda-benda itu jatuh berdebum.

Dari benda-benda jatuh itu, seberkas cahaya mengintip dari sebuah ventilasi kecil. Dengan terbatuk aku mencoba menemukan nama pemilik wajah yang mendorongku tadi.

"Gue nggak nyesel kalo sampe harus bunuh loe disini!" suara dengan nada marah itu semakin dekat.

Suara itu bukanya? Tapi pemiliknya masih terasa samar dalam penglihatanku yang minus 1 (miopi). Terlebih gudang ini seluas lapangan sekolah.

Langkahnya kudengar makin cepat menuju arahku. Bukan langkah biasa, seperti berlari hendak menyerbu sesuatu. Mataku terkesiap. Saking kagetnya kakiku menginjak sesuatu. Aku dibuat semakin takut.

Semakin mundur mendengar langkah kaki itu.

Tepat dibelakangku, ada bau yang terasa pengap sekali. Aku tidak bisa menggambar jelas benda apa saja yang mengisi gudang bekas lab kimia ini.

Dia tak lagi tertutupi keremangan. Ucha muncul tepat didepanku. Mendorongku hingga terjatuh. Tak lama setelah itu, tubuhku ditindihnya. Tangan kirinya mencengkram leher. Akupun sulit untuk bernafas. Bagiku ini masih tak apa. Tapi sesuatu terlihat ditangan kanannya.

Tidak siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Lengan tangan mulus tanpa bulu itu kutahan sekuat tenaga. Nafasku pun memburu melihat matanya setajam sebilah pisau yang berada dalam genggamannya. Entah apa yang akan dilakukannya dengan benda tajam itu. Apakah dia... Mau membunuhku?

"Lepasin! Astaghfirullah, Cha! Sadar, Cha! Sadar!" diriku berusaha meronta namun tiada hasil. Aku kalah besar dengan tubuhnya.

Dia mungkin tadi bersembunyi dibelakang pintu dan muncul ketika aku telah masuk. Dengan kekalapan yang aku tak tau apa penyebabnya, ia menerjangku bagai mangsa yang siap dikunyah-kunyah, menindihku diantara tumpukan buku. Hingga semua debu dari tumpukan buku mengudara, memenuhi paru-paruku.

"Lepasin loe bilang?! Tadi aja loe berani menghina nyokap gue! Sekarang loe minta gue lepasin?!"

Jeda seperkian detik ia meludahiku. Tepat di pipiku.
Aku bergidik sekaligus gemetar karena tak pernah melihat Ucha semarah Ini. Inginku menangis. Berteriak sekeras apapun mungkin tak akan ada yang mendengar.

"Ma-maksud kamu apa, Cha? Aku nggak ngerti!" aku terbata.

"Cih! Nggak usah nampang begok loe, brengsek! Basi!"

Pisau itu bergerak menuju wajahku.

"Kayaknya gue mulai dari wajah loe dulu deh! Loe pasti pengen cantik kayak gue, kan?"

Dia lalu tertawa dalam kegilaannya. Aku semakin disergap ketakutan.

"Selain pinter matematic, gue juga bisa kok bedah wajah. Hahahaha!"

Ya Allah, tanganya mengitari wajahku dengan benda tajam itu. Ujungnya menyentuh kulit. Setelahnya jambakan kuat kuterima hingga kerudungku terlepas dari jarum pentulnya. Aku berusaha mengambil nafas sebanyak mungkin.

Matanya berapi-api. Seakan ada panah satu persatu muncul di balik kornea matanya, mematikan keberanianku. Dia menambahkan lagi bahwa aku gadis kurang ajar yang pantas mati. Tidak ada yang boleh menghina Mamanya selain dia.

Saat itu juga aku memberondong diriku sendiri dengan berbagai pertanyaan dibanding harus memberinya pertanyaan dengan menatap matanya yang masih menyala. Ada apa dengannya? Apa salahku padanya? Kapan aku bersikap kurang ajar? Dan bentuk kekurangajaran seperti apa? Apa karena dia baru saja kehilangan Papanya? Lantas apakah aku yang menjadi pelampiasannya? Kapan aku menghina mamanya?! Lalu dimana Wayan?!

Aku benar-benar dalam kebingungan.

Tidak kusangka adegan kekerasan yang sering kutonton di tv, kini aku sendiri mengalaminya.

Dengan menggeleng ketakutan. Keringat dingin menyerangku, ancaman Ucha seakan mengurungku ke dalam jeruji kegelisahan, kengerian, ketakutan yang mendalam. Bahkan kerongkonganku seakan tersumbat sesuatu, hingga aku tak mampu berkata-kata. Apa aku akan mati hari ini?

Tubuhku tak sebesar Wayan. Pasti sudah ku terjang tubuh Ucha jika saja porsi badan kita sama. Hanya nama yang terus larut dalam pikiranku. Cukuplah Allah penolongku.

Ketika tepat tangan kiriku sudah tak mampu menangkis lenganya ditambah tangan kirinya mencengkram leherku. Cahaya diruangan ini seakan mengecil.Kurasa dunia seakan gelap gulita. Tak ada lagi Ucha dengan murka diwajahnya, ataupun keremangan gudang yang mengurungku tadi.

Dalam kegelapan itu terasa lama sekali aku disana. Sesenggukan aku merasa sendirian.

Sekilas antara mimpi dan nyata, aku melihat tangan Ucha bergetar setelah melihat wajah garang seseorang tiba-tiba muncul dibalik pintu gudang.

Tak ada kata lain selain gelap setelahnya.

Beberapa detik pun berlalu dan berubah menjadi puluhan jam, yang entah sudah berapa lama aku berada di ruang penuh warna putih ini.
Samar-samar yang aku ingat, Ucha melayangkan pisau padaku, dan aku sudah tak mengingat apapun setelahnya. Ya, pasti Ucha yang membuat luka tusuk di perutku ini. Rasanya sungguh sakit. Perih bertubi-tubi.

Beginikah jika sakit dengan berdarah.

Pusing sering menderaku yang aku tak tau mengapa. Kupikir tidak ada hubunganya luka tusuk diperutku dengan sakit dikepalaku. Itu bukan pusing biasa. Sakitnya luar biasa.

Ketika mencoba mengingat sesuatu, sakit kepala yang bukan main rasanya itu hadir kembali. Tidak mengijinkanku untuk berpikir. Aku tertatih-tatih mengingat kejadian itu.

Kian hari ingatanku pulih bersama dengan pulihnya luka tusuk diperutku. Kucerna ingatan itu keping-demi keping, menyatukanya dalam satu puzzle kebenaran.

Ingatan itupun mulai menyatu sempurna. Menjawab semua kegamanganku tentang Ucha. Aku pun mulai merajut kepercayaanku padanya. Dia tak bersalah. Sepertinya aku tau siapa pelakunya. Aku harus menangkapnya, memenjarakanya jika perlu.

___________________________

Secret And Admirer (End & Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang