"Gue nyerah."
Dhila membelalakan matanya. Ia langsung menjitak kepala Raka. "Lo cowok apa bukan? Masa gini aja nyerah?"
"Heh anjir kira-kira dong lo kalo jitak. Sakit banget ini!" Raka mengelus keningnya. "Mampus, geser dah otak gue."
"Emang udah geser," cibir Dhila. "Kenapa lo nyerah?"
Raka menghelas napas. "Gue tuh ngerasa dia nyuruh gue mundur, Dhil. Bayangin aja. Gue ngeliat dia sama Rey ketawa-ketawa kayak gitu. Seolah dia gak peduli sama gue yang diem sejak pagi."
"Yaelah kan lo gaada cerita sama dia nyet. Mana dia tau!"
"Ya kali gue cerita 'Bel, gue suka sama lo makanya gue sedih pas tau lo jadian sama Rey'. Gila lo Dhil."
Dhila mendengus. "Lo yang gila bego! Dia kayak gitu mah wajar. Baru pacaran."
"Ya tapi masa di depan gue." Suara Raka mulai mengecil.
"Ka, lo lebih beruntung daripada gue." Dhila menunduk, menatap masker yang ada di tangannya. Matanya menyayu. "Lo masih bisa perjuangin perasaan lo untuk dia. Sementara gue? Gue sama sekali gak dikasih kesempatan untuk berjuang. Seolah dia merasa perasaan gue sama sekali gak penting." Dhila menghela napas. "Setiap malam dia selalu ceritain keluh kesahnya. Dan keluh kesahnya gak jauh-jauh dari ekskul, sekolah ataupun rumah. Dia gak pernah bahas cewek, seolah dia ngasih gue harapan." Kemudian, gadis itu merutuk. "Ah, kenapa sih gue inget dia terus?!" Tanpa sadar air matanya menetes lagi.
Raka menatap Dhila prihatin. Benar, dia lebih beruntung daripada gadis itu. Setidaknya, Raka sudah memperjuangkan perasaannya pada Bella. Meski pada akhirnya Bella tetap memilih Rey.
Raka menepuk pelan lengan Dhila. "Udah, lo gausah sedih gitu, Dhil. Jangan kayak gini dong. Bukan cuma lo yang sedih atas kejadian ini. Gue juga sedih. Tapi untuk apa juga kita nangis-nangis? Nangis gak akan bikin mereka putus dan nerima kita kan?"
Dhila terdiam. Dalam hati membenarkan perkataan Raka. Sampai air matanya habis pun, Rey akan tetap jadi milik Bella. Bukan dirinya.
"Ka," panggil Dhila. Suaranya masih parau. "Please, tetap perjuangin Bella."
"Kenapa? Lo mau mereka putus?"
"Gue munafik kalo bilang gak mau mereka putus. Tapi, gue juga gak mau rusakin kebahagiaan mereka. Bella tetap sahabat gue. Gue cuma mau lo tetep perjuangin Bella."
"Gue butuh alasan, Dhil."
Dhila menghela napas. "Entah kenapa gue yakin kalo Bella punya perasaan buat lo."
Melihat Raka yang diam, Dhila tersenyum kecil. "Lo tau kalo firasat gue gak pernah salah."
Raka mencibir. "Kalo lo lagi gak dalam masa sedih, gue udah mau ngeledek lo. Tapi, gue tau situasi."
Dhila terkekeh.
"Kenapa lo punya firasat kayak gitu?"
Baru saja Dhila hendak menjawab, bel tanda waktu istirahat berakhir telah berbunyi.
Dhila terkekeh. "Gue pengen jawab. Tapi udah bel. Jadi mending lo balik ke kelas. Abis ini, gue jam Miss Prita. Lo tau sendiri dia gimana."
Raka mendengus. Tangannya mengacak puncak kepala Dhila. "Dah, gue balik. Nanti sore gue ke kos lo."
"Mau ngapain?"
"Gue traktir bakso. Mau gak?"
Mata Dhila berbinar. "Maulah! Oke gue tunggu. Jam lima ya?"
Raka mencibir melihat Dhila yang kembali cerah hanya karena bakso. "Iya bawel. Dah gue ke kelas." Raka beranjak menuju kelasnya.
Dhila tersenyum tipis memandang punggung Raka yang meninggalkan kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...