Raka memasuki kelas dengan ransel bertengger di pundak kirinya. Ia buru-buru meletakkan ranselnya di bangku paling ujung, posisi terjauh dari gadis itu.
Raka menghela napas. Matanya menyendu ketika mengingat ia meninggalkan Bella begitu saja di depan gerbang tadi. Padahal tiap bertemu, Raka selalu menganggu atau minimal menyapa Bella. Raka mengacak rambutnya, menyesali kenyataan ia harus menciptakan jurang pemisah untuknya dan gadis itu. Terlalu banyak yang ia sesali. Andai hari itu ia sudah menembak Bella, andai hari itu Bella tidak menerima Rey, andai hari itu status Rey tetap sebagai sahabat Bella, mungkin jurang pemisah ini tidak akan pernah ada.
Raka melirik ketika gadis itu memasuki kelas. Garis wajahnya datar tanpa ekspresi. Sesekali ia menghela napas. Dalam sekali lihat, orang normal pasti sadar Bella sedang ada masalah. Dalam sekali lihat, Dhila pasti sadar Bella kepikiran tentang keputusan Raka. Tapi tidak begitu dengan Raka. Ketidakpercayaandirinya membuat dia merasa Bella hanya lelah karena hal lain. Bukan karena memikirkannya.
Raka buru-buru mengalihkan tatapan ketika gadis menghadap ke belakang merapikan ranselnya.
Sementara itu, mata Bella sudah terlebih dahulu menangkap gerakan Raka. Dia tau lelaki itu menatapnya sejak ia masuk kelas. Lagi, ia menghela napas berat. Terlalu banyak pertanyaan di dalam benaknya. Kenapa Raka harus menatapnya seperti itu jika lelaki itu sudah memutuskan untuk menjauhinya? Kenapa Raka harus menghindar sampai segininya? Apa tidak cukup ia menyiksa Bella dengan mengusirnya di rumah sakit kemarin? Apa ia harus menyiksa Bella juga di sekolah dengan seperti ini?
Bella menggeleng. Tanpa sadar air matanya jatuh. Ia menghapus kasar air matanya. Ia benci perasaan ini. Apa pun nama perasaannya.
****
Setelah bel istirahat pertama berbunyi, Bella buru-buru keluar kelas. Ia melangkah menuju perpus. Lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di sana daripada harus melihat Raka. Karena setiap kali ia melihat cowok itu, perasaan rindu itu muncul. Perasaan rindu yang ia benci.
Bella juga tidak menghampiri Dhila karena ia yakin Dhila pasti akan mengungkit lagi soal Raka. Jadilah Bella di sini. Di perpustakaan, ditemani novel yang ia bawa dari rumah.
Sementara itu, Dhila memilih menghampiri Raka di kelasnya. Ia tahu cowok itu sedang butuh teman. Bersahabat dengan Raka lebih dari setahun membuat Dhila paham karakter cowok itu. Raka tidak pernah patah hati seburuk ini. Dhila baru melihatnya ketika Raka patah hati pada Bella. Dhila hanya takut ketika cowok itu patah hati sampai begini, ia akan melakukan hal-hal yang tidak baik.
Dhila membelokkan langkahnya memasuki kelas Raka. Kelas itu sepi. Hanya ada Raka dan tiga orang cewek di pojok kelas yang tengah mendandani satu sama lain. Dhila menaikkan bahunya tak peduli banyak. Mungkin mereka sedang jamkos sebelum istirahat tadi. Dhila melangkah menghampiri Raka yang tengah menidurkan kepalanya di lipatan tangan. Gadis itu duduk di bangku samping Raka. Menepuk lengannya.
"Heh, kantin gak lo?"
Raka mengangkat kepalanya. "Enggak ah. Males."
"Gue laper nih. Temenin yuk."
Raka menghela napas. "Mager gue, Dhil sumpah. Minta Bella dah."
"Gue aja gatau Bella ada dimana."
"Tanya ke Resti sama gengnya noh. Kali aja mereka tau." Raka menunjuk ketiga cewek yang tengah berdandan itu dengan dagu.
Dhila melengos. "Yaudah lo mau nitip gak?"
"Air putih dingin aja deh. Gue lupa bawa minum."
Dhila mengangguk sekilas sebelum melangkah menghampiri Resti dan kedua temannya di pojok kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...