Bella mengusap jejak air mata di pipinya. Ia duduk berhadapan dengan Melvi di ruang OSIS itu.
"Lo mau cerita?" tawar Melvi.
Bella mengangkat alis. "Boleh, kak?"
"Boleh. Gue bilang ke Evan dulu deh biar dia gak nyariin kita. Kita sekalian bikin hiasan panggung aja di sini ya biar gak diomel." Melvi tersenyum kecil ketika melihat Bella mengangguk. "Lo tunggu bentar. Gue ambil barangnya sekalian ngomong ke Evan." Melvi beranjak dari duduknya, kemudian melangkah keluar ruang OSIS.
Bella sempat melihat sekilas keterkejutan Melvi ketika keluar dari ruang OSIS. Entah karena apa. Tapi dia tidak memikirkan lebih lanjut ketika pintu ruang OSIS ditutup. Bella menghela napas. Matanya memandangi sekeliling ruang OSIS. Matanya terpaku pada album foto pengurus OSIS yang diletakkan di atas meja. Bella membuka-buka album itu. Ia bisa melihat wajah beberapa senior yang sering diceritakan kakak kelasnya dari album foto itu.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Bella dari album foto itu. Bella menoleh dan mendapatkan Dhila masuk ke ruangan itu. Bella membuang muka. Ia kembali fokus pada album foto di meja, berusaha mengacuhkan Dhila yang duduk di sisinya. Tidak. Dia bukan membenci Dhila. Dia hanya sedang malas bicara dengan siapa pun. Dengan Melvi pun ia hanya bicara karena ada dorongan untuk menceritakan semuanya. Apalagi Melvi pernah memiliki pengalaman yang sama dengannya.
Dhila menghela napas. "Bel, gue minta maaf."
Satu alis Bella terangkat. "Kenapa?"
"Gue gak bisa yakinin Raka untuk terus berjuang buat lo. Gue udah berusaha untuk bujuk dia supaya gak ngejauhin lo. Gue udah bilang kalo ngejauhin lo bukan hal yang tepat untuk dia lakuin. Tapi lo sendiri tau dia tuh kepala batu. Susah diomongin. Dia punya asumsi sendiri tentang lo dan gue gak bisa ngubah asumsi dia."
Bella menghela napas berat. "Gue jadi ragu dia beneran ada rasa sama gue."
Dhila tersentak. Bagaimana mungkin Bella ragu setelah melihat semua yang dilakukan Raka padanya?
"Lo udah liat sendiri apa yang dilakuin Raka buat lo. Kenapa lo tiba-tiba ragu sama perasaan dia?"
"Gue pikir dia yang paling ngerti perasaan gue. Gue gak nyangka dia berasumsi kayak gitu. Gue selama ini nunggu kapan dia berhenti jauhin gue. Gue males harus nyiptain jurang pemisah di antara kita. Gue capek pura-pura gak kenal sama dia. Tapi asumsi dia buat gue kecewa sama dia."
Dhila sebenarnya paham maksud Bella. Tentu Bella kecewa. Bella menunggu kapan Raka akan kembali menjadi sahabtannya seperti dahulu. Sedangkan Raka, dengan egoisnya mengatakan dia gak akan kembali karena dia yakin Bella tidak butuh dirinya untuk bahagia. Permasalahannya adalah kenapa Bella harus sejauh itu menunggu Raka 'kembali'?
"Bel, lo harus tau kalo Raka bener-bener suka sama lo. Dia bahkan rela ngawal elo sampai ke rumah dengan selamat, meski bukan dia yang nganterin lo. Lo udah liat semua perilaku yang dia tunjukkin ke elo. Jangan lo seakab nutup mata sama semuanya, Bel. Raka udah lama punya rasa yang beda sama lo. Jadi, plis, lo percaya."
Bella diam. Gadis itu tidak menjawab perkataan Dhila. Dia malah sibuk membuka-buka album foto.
Dhila yakin Bella mendengar semuanya meski matanya terfokus ada album foto di atas meja. Dhila melanjutkan ucapannya. "Raka ngejauhin lo karena lo udah milih Rey. Dia gak mau perasaan dia buat lo terbeban. Dia pengen lo bahagia sama pilihan lo. Bukannya itu keinginan lo dari dulu? Lo suka sama Rey. Dan lo pasti pengen pacaran sama dia. Lo udah dapetin apa yang lo mau. Makanya Raka mundur dengan harapan perasaan dia sama lo bisa hilang seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata perasaan itu makin gak terbendung." Dhila memberi jeda pada ucapannya. "Apalagi sekarang Rey jauh. Secara naluri, dia ngeliat kesempatan buat dekat sama lo. Tapi, di satu sisi, dia harus ngejauhin lo untuk bunuh perasaan itu."
Bella mengumpat dalam hati ketika air matanya kembali mengalir. Ia benci keadaan dimana dia harus lemah dengan apa yang terjadi. Itu sebabnya Bella tidak mau membiarkan perasaannya dengan Rey berbuah makin lebat. Ia benci harus terlihat lemah karena cinta.
Bella mengusap air matanya. Ia menatap Dhila. "Gue gak mempermasalahkan dia menjauh, Dhil. Tapi dia nyiksa gue. Kalo dia emang mau menjauh, lakuin seratus persen. Jangan setengah-setengah!"
Dhila terdiam. Dia membenarkan ucapan Bella dalam hati. Ia tau perasaan Bella. Di sini, yang bersalah bukan Bella. Bella korban dari Raka yang tidak konsisten dengan keputusannya.
Dhila menghela napas. "Gue boleh nanya?"
Bella mengangguk sekilas.
"Kenapa lo harus repot-repot mikirin kapan Raka balik ke elo di saat lo udah punya Rey? Kenapa lo gak memilih untuk repot-repot mikirin Rey pulang dari Palembang? Tempat yang jauh dari lo."
Pertanyaan Dhila serupa panah yang melesat dan tepat mengenai jantung Bella. Bella terdiam.
Selama ini ia juga bingung kenapa harus terus memikirkan Raka di saat ada Rey yang harusnya ia pikirkan. Padahal ia masih bisa melihat Raka setiap hati meski tidak berucap sepatah kata. Tapi dia tidak melihat Rey untuk beberapa hari. Sebagai seorang kekasih, bukankah seharusnya Bella menunggu kepulangan Rey?
Dhila tersenyum tipis melihat Bella terdiam. "Lo gak sadar kalo lo punya rasa ke Raka, Bel."
Bella tersentak kecil. Jantungnya berdegup lebih cepat. Itu bukan suatu pertanyaan. Itu suatu pernyataan. Lalu, apakah yang diucapkan Dhila itu benar?
"G-gue juga mikirin Rey pulang kok. Y-ya wajar kan kalo gue kepikiran sama Raka. Aneh aja setiap hari ketemu tapi gak teguran." Suara Bella memelan.
Dhila memilih diam meski dia tahu apa yang dipikirkan Bella. Ia menepuk pelan pundak Bella. "Jangan sampe lo nyakitin orang lain karena perasaan lo yang masih abu-abu, Bel. Hati lo cuma satu. Gak mungkin bisa terbagi dua." Dhila tersenyum kemudian beranjak dari duduknya. Ia keluar dari ruang OSIS meninggalkan Bella sendiri di sana.
Sejujurnya Dhila tidak menyangka percakapan yang menguras emosi sahabatnya itu berakhir dengan sebuah pengakuan secara tidak langsung. Ah, semoga saja Raka belum kehilangan semangatnya.
Dhila mempercepat langkahnya meninggalkan area ruang OSIS ketika melihat Melvi sedang berbincang dengan Pak Retno. Kakak kelasnya itu membawa segulung karton warna warni dan sebuah kantong plastik besar, yang Dhila yakini adalah alat-alat untuk membuat dekorasi panggung dan stan.
Sementara itu, Bella masih termenung. Ucapan Dhila tadi benar-benar mengganggu pikirannya.
Selama ini, Bella tidak memusingkan dirinya dengan pertanyaan seperti itu. Dia masih yakin bahwa perasaannya pada Rey itu masih ada. Setidaknya itu alasan dia bertahan dengan Rey sampai sekarang. Tapi ketika Dhila menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakannya pada dirinya sendiri selama ini, Bella mulai ragu. Apa benar dia masih mencintai Rey?
Sebenarnya siapa antagonis dalam kisahnya ini? Raka yang menyakiti dirinya atau justru dirinya sendiri yang tanpa sadar menyakiti dua orang dalam satu waktu?
Yang pasti, bukan Mas Ody.
****
A.N :
Hello!
Gimana komentar kalian terhadap part ini?Aku excited banget waktu tau Zone Compatible nyentuh angka 900 viewers😭 Makasih buat semua pembaca dan semua yang mau share cerita ini. Meski masih ada siders tapi yaudahlah aku tetep seneng kok🙌
Jangan lupa voment dan share ya❤ God bless u🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...