[Quotes ada di author note]
****
Rey mengernyit. Cowok itu merasa tidak nyaman sejak memasuki area perpustakaan. Dari langkah pertamanya, cowok itu bisa melihat beberapa kumpulan siswi menunjuk ke arahnya sambil berbisik-bisik.
Ya sebenarnya Rey sudah sering mengalami hal itu ketika namanya melejit sebagai salah satu most wanted SMA Starki. Wajar saja. Tampan, jago futsal, dan baik hati. Siapa yang menyangkal bahwa Rey adalah salah satu produk terbaik di SMA Starki.
Hanya saja, bisik-bisik kali ini berbeda. Gadis-gadis itu tidak terlihat malu-malu, malah menatapnya prihatin seolah Rey baru saja mengalami musibah.
Rey mengangkat bahu sekilas, berusaha tak peduli. Cowok itu melangkah ke meja pustakawan.
“Bu, dipanggil sama Pak Ilham. Ada perlu katanya.”Bu Rida – si pustakawan itu—tersenyum. Terima kasih, Pak Ilham. Untung saja yang Bapak suruh untuk memanggil saya seganteng ini. Begitu batinnya.
“Oh, ya. Makasih, Rey. Pak Ilhamnya di mana?” tanya Bu Rida.
“Di ruang guru, Bu.”
“Oke, terima kasih.”
Rey mengangguk sopan. “Ya sudah saya permisi, Bu.” Rey melangkah ke luar perpustakaan. Cowok itu berusaha sekuat tenaga untuk tak melirik gerombolan gadis yang masih menatapnya sejak tadi.
Ada apa sih? Kenapa mereka menatap dirinya prihatin seperti itu? Memangnya Rey baru kena musibah apa?
Rey menghela napas pelan sebelum meraih ponselnya yang bergetar dari saku kemeja.
Gio: Lo udah denger soal Raka sama Bella?
Ah, cowok itu lupa memberi tahu Gio untuk tidak memberinya info tentang Bella lagi. Rey mau move on ke Dhila.
Baru saja jemarinya bergerak, pesan dari Gio datang lagi, membuatnya melebarkan mata, tersentak kaget.
Gio: mereka jadian tuh
Gio: beritanya udah kesebar sama anak-anak lain
Pantas saja semua orang menatapnya prihatin seperti itu. Rey mendesah berat. Pasti mereka berpikir yang tidak-tidak tentang Bella saat ini.
“Rey!”
Rey menoleh, mendapati Dhila tengah melangkah ke arahnya. Cowok itu tersenyum. “Kenapa, Dhil?”
“Lo udah tau Bella jadian sama Raka?”
“Udah, Dhil. Kenapa?”
Dhila mengulum bibir sekilas. Menimbang sejenak apakah dia harus mengucapkan kalimat ini. “Em, lo gak ucapin selamat ke mereka?”
Rey mengernyit. “Emangnya harus?”
“Ah, sebenarnya enggak sih. Cuma kayaknya lo lebih baik ngelakuin itu. Buat ngilangin omongan gak bener temen-temen tentang Bella,” ucap Dhila.
“Tapi lo gak marah?”
Dhila mengernyit, berusaha mengacuhkan degupan jantungnya yang semakin memburu. “Maksud lo?”
Rey mengusap tengkuk lehernya, gugup seketika. “Ya gue gak mau bikin lo mikir gue masih punya perasaan untuk Bella.”
Pipi Dhila memanas. Sial. Rey tidak menyadari kalimatnya benar-benar membuat jantung gadis itu ingin melompat ke perut.
Dhila berdeham. “Ah, enggak. Lagian Bella sahabat gue, jadi gue merasa juga harus bantu dia ilangin omongan gak bener orang-orang ke dia.” Dhila mengulum bibirnya. “L-lagian lo kan emang masih punya rasa sama Bella.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...