Kadang sebuah tindakan sederhana sudah menjelaskan apa yang kita rasakan. Masalahnya tinggal peka tidaknya saja orang yang kita perlakukan.
****
Raka : gue tunggu di balkon ya
Raka : ada yang mau gue omongin
Bella melebarkan mata membaca pesan Raka yang masuk ke WhatsApp-nya. Gadis itu mengecek jam. Setengah sepuluh malam dan di luar sedang gerimis. Bella mengernyit. Untuk apa Raka menunggunya di balkon semalam ini? Sepenting apa yang ingin dibicarakan oleh cowok itu? Memangnya tidak bisa di sekolah?
Ponsel Bella bergetar lagi. Gadis itu merunduk membaca pesan yang masuk.
Raka : lo di mana? Gue udah di balkon
Bella terdiam. Tidak tahu harus mengikuti hati atau pikirannya. Pikirannya berteriak menyuruhnya tidak usah menemui cowok itu. Dia harus tidur karena sudah malam. Lagipula sekarang sedang hujan.
Tapi hatinya dengan keras menyuruh gadis itu untuk keluar menemui Raka.
Bella menggigit bibir bawahnya. Gadis itu menghela napas kemudian meraih jaket dan ponselnya. Setelah memakai jaket, gadis itu membuka pintu balkon. Bella benar-benar terkejut ketika menemukan Raka sudah berdiri di balkon kamarnya. Cowok ini!
"Mau ngomongin apa? Sekarang udah malem, hujan gini. Emang penting banget sampe harus ketemu se-"
Kalimat Bella terhenti ketika Raka menarik gadis itu dalam sebuah pelukan. Bella terdiam. Tubuhnya langsung kehilangan tenaga ketika menghirup aroma cowok yang tengah melingkarkan tangan di bahunya. Gadis itu tidak membalas pelukan Raka.
Raka menempelkan dagunya di puncak kepala Bella. "Gue minta maaf."
Bella mengernyit di dalam pelukan Raka. Tidak mengerti arti permintaan maaf cowok ini. Ia ingin bertanya tapi tubuhnya masih kehilangan tenaga untuk itu.
"Gue udah buat lo sama Rey putus."
Bella melepas pelukan Raka. Gadis itu mundur selangkah. "Lo mau bilang lo merasa bersalah dan mau ngejauh lagi dari gue?" tanya Bella dingin.
Raka menggeleng. Cowok itu maju kemudian menempelkan tangannya di bahu Bella. "Sekarang gue ngerasa bersalah sama Rey. Dia gak salah apa-apa, tapi dia yang ngerasain sakit dari apa yang gue lakuin."
Bella terdiam. Rasa sakit yang singgah tadi sore di hatinya kembali berdenyut. Bella tidak mengerti. Apa mungkin dia juga merasa bersalah pada Rey?
"Selama ini Rey sayang sama lo. Tapi gue malah maksa lo suka sama gue saat lo lagi pacaran sama orang yang bener-bener tulus sayang sama lo."
Bella menggigit bibir bawahnya. Gadis itu merunduk. "G-gue gak tau harus gimana. Gue yang salah."
Raka menggeleng lagi. "Lo gak salah karena perasaan emang gak bisa dipaksa, Bel. Gue emang kedengeran membenarkan diri gue sendiri di depan lo. Tapi, Rey sendiri yang bilang ke gue tadi." Raka menghela napas menatap Bella yang terkejut. "Tadi Rey nyamperin gue."
Lidah Bella jadi kelu. "R-Rey nyamperin lo? Kenapa?"
Raka mengangguk. Cowok itu menurunkan tangannya dari bahu Bella. "Dia minta gue untuk lupain masalah ini. Dia minta gue untuk fokus jagain lo. Tapi...."
Bella mengernyit. Jantungnya sudah berdesir hangat tapi Raka malah menghentikkan kalimatnya. "Tapi kenapa?"
Raka menatap Bella lurus. "Gue mau lo yakin dulu. Gue mau lo yakin sama gue. Gue mau denger langsung dari lo."
"Denger apa?"
Raka masih menatap Bella dalam-dalam. Cowok itu belum mengeluarkan suaranya. Hanya menatap mata gadis di hadapannya ini dalam-dalam sampai Bella menunduk karenanya.
Tangan Raka meraih dagu Bella, mengangkat wajah gadis itu agar bisa menatapnya lagi. "Gue sayang sama lo."
Bella terdiam. Ucapan Raka benar-benar menikam titik nadinya. Gadis itu benar-benar hilang napas sekarang.
Raka tersenyum. Cowok itu melepas tangannya dari dagu Bella. Menarik lengan Bella hingga gadis itu menumbur dadanya. Sekali lagi Raka memeluk Bella.
"Gue gak tau apa yang akan terjadi ke depan, Bel. Tapi gue mau lo jadi bagian dari indahnya hidup gue."
Bella meremas kaus Raka. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa rasanya ingin menangis saja saat ini.
Tangan Bella terangkat membalas pelukan Raka. Raka sendiri masih merengkuh Bella erat. Menyalurkan perasaannya yang selama ini terkekang karena status Bella dengan Rey.
Rintik hujan makin turun dengan deras. Menggguyur kedua insan yang masih saling merengkuh menyalurkan perasaan yang tak pernah terungkap seutuhnya selama ini. Membiarkan hujan menjadi saksi bisu tentang apa terjadi malam itu.
****
"Hatsyii!"
Raka terloncat kecil. Cowok itu menoleh menatap Bella yang mengusap ujung hidungnya sekilas kemudian kembali merunduk mencatat apa yang ditulis Bu Lia, guru matematika mereka, di papan tulis.
Raka mendesah pelan kemudian kembali merunduk. Cowok itu ikut mencatat apa yang ditulis di papan tulis, meski berkali-kali ia melirik ke arah Bella yang terus mengusap ujung hidung.
Sejujurnya Raka merasa bersalah atas apa yang terjadi pada gadis itu. Tentu saja penyebabnya karena Raka yang mengajak gadis itu bertemu di balkon malam-malam saat hujan.
Keduanya bahkan baru kembali ke kamar masing-masing ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak banyak yang mereka ucapkan. Pelukan itu sudah menjelaskan sangat banyak dari apa yang mereka rasakan selama ini.Raka menghela napas ketika mendengar suara bersin Bella. Harusnya dia tahu gadis itu tidak sekuat dirinya yang tahan diguyur hujan. Raka membuka tasnya kemudian menyerahkan sebuah sapu tangan kepada Bella.
Bella mengernyit menatap sapu tangan yang diberikan Raka. Gadis itu mengusap ujung hidungnya. "Buat gue pake?" Melihat anggukan Raka, Bella tersenyum tipis, kemudian menerima sapu tangan itu. "Makasih."
Raka membalas senyuman Bella. "Sorry ya. Gara-gara gue lo jadi bersin-bersin gini." Tangan Raka terulur meraba kening Bella, mengecek suhu tubuh gadis itu. "Badan lo panas?"
Bella menggeleng kemudian menarik diri menjauh membuat tangan Raka terlepas dari keningnya. "Gue gapapa. Selow," jawab Bella dengan suara serak. Gadis itu memang hanya flu, tidak demam.
Sejak semalam mengakui bahwa ia juga menyukai Raka, Bella tidak lagi menciut tiap kali cowok itu menggombalinya atau memperlakukannya dengan manis seperti ini. Gadis itu sepertinya sudah nyaman dengan perlakuan Raka, termasuk dengan akibat yang menyebabkan dirinya merona.
Meski sudah saling mengakui perasaan, Bella dan Raka belum meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Selain karena Raka belum juga menembaknya, Bella memang masih terlalu takut untuk kembali menjalin hubungan. Dia takut mengecewakan orang lain lagi. Dia sudah cukup membuat Rey kecewa.
Tadi pagi Rey masih menjemputnya, berlaku seperti tidak ada yang terjadi di antara keduanya. Dan itu membuat Bella semakin merasa bersalah. Rey tidak salah. Dirinyalah yang salah karena tidak menjaga hati untuk cowok itu. Bella seharusnya senang karena bisa lepas dari beban yang membuatnya tidak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan pada Raka selama ini. Tapi gadis itu tidak merasakannya seratus persen.
Di satu sisi ia memang senang. Tapi di sisi lain, perasaan bersalah itu cukup menghantuinya.Perasaan bersalah ini juga dirasakan oleh Raka. Cowok itu tentu saja merasa bersalah. Bedanya Raka tidak dihantui lagi oleh rasa bersalah itu karena sudah meminta maaf pada Rey secara langsung. Bahkan Rey memberinya amanat untuk menjaga Bella dan membuat gadis itu bahagia karena sepertinya Rey tidak melakukannya selama mereka pacaran.
Bella menghela napas pelan. Gadis itu kembali merunduk fokus menyalin tulisan Bu Lia ke buku catatannya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...