Bella menatap keduanya dengan tatapan datar. Garis wajahnya pun tampak santai, bukan terkejut atau marah seperti yang diduga Raka sebelumnya. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu.
Raka meneguk ludah melihat Bella yang menatapnya lurus. Seketika cowok itu gugup. Raka benar-benar takut Bella marah dan mengusirnya. Lebih parah lagi kalau sampai cewek itu tidak mau bertemu dengannya lagi. Amit-amit deh.
Bella mengalihkan tatapannya ke Dhila. "Gue nyariin lo ke depan kamar taunya di sini. Mau makan gak?"
Dhila menggaruk pipinya, bingung harus bagaimana. Dhila yakin Bella mendengar percakapannya dengan Raka. Kenapa Bella tidak membahasnya sedikit pun?
Bella menjentikkan jarinya. "Malah bengong. Ayo cari makan ke depan."
"Yaudah ayo." Dhila kemudian menatap Raka. "Gue sama Bella pergi dulu."
Raka mengangguk sekilas. "Hati-hati." Raka berbalik, hendak melompat kembali ke balkon kamarnya.
"Lo ikut aja bareng kita. Makan sate di depan."
Raka terkejut setengah mati mendengar kalimat itu keluar dari Bella. Di satu sisi ia senang, di sisi lain ia kaget, dan di sisi lain lagi ia bertanya-tanya. Bukannya Bella benci sama dia? Kok malah nawarin makan?
Reaksi Dhila tidak jauh berbeda dengan Raka. Ini beneran Bella kan? Bukan hantu atau sosok yang menyerupai Bella? Bella abis marah-marah sama Raka kok malah jadi nawarin cowok itu makan bareng? Serem banget bisa berubah secepat ini.
"Ah? Em, iya duluan deh. Gue ambil HP dulu."
"Hm, ayo, Dhil."
Dhila mengangguk kemudian mengikuti langkah Bella untuk masuk ke kamar gadis itu. Dhila sempat melempar tatapan bingungnya pada Raka. Cowok itu juga tampak bingung dengan perilaku Bella.
Raka menghela napas panjang ketika pintu balkon Bella ditutup. Ia mengatur degupan jantungnya yang semakin cepat.
"Ah, gila gue lama-lama." Raka mengusap wajahnya. Cowok itu kemudian melompat kembali ke balkonnya.
Raka menyambar ponsel dan jaket hitamnya. Kemudian ia turun dan berlari ke rumah di sampingnya.
Bella dan Dhila sudah berdiri di depan pagar rumah Bella. Raka buru-buru menghampiri keduanya.
"Ayo." Bella dan Dhila melangkah lebih dulu. Raka mengikuti keduanya. Ah, rasanya benar-benar gugup sekali.
Sementara itu, Bella sendiri masih mengatur degupan jantungnya yang bertambah cepat. Bella berdeham pelan. Berusaha menetralkan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Kehadiran Raka benar-benar membuatnya deg-degan tidak karuan. Sial. Harusnya Bella tidak perlu mengajak cowok itu. Cowok itu terlalu berbahaya bagi kesehatan jantungnya.
Ketiga remaja itu memasuki warung sate langganan Bella. Lokasinya memang tidak jauh dari rumah Bella makanya mereka memilih menempuhnya dengan berjalan kaki.
Sebenarnya Bella tidak tega melihat Raka yang masih agak tertatih. Tapi, egonya tidak membiarkan dia peduli dengan cowok itu. Untungnya Raka tidak protes. Lagipula kaki Raka sudah tidak sesakit itu lagi. Buktinya cowok itu masih bisa lompat balkon. Ya, Raka memang senekat itu.
Dan oh ya, sebenarnya, Mas Ody dipekerjakan bukan karena kaki Raka masih sakit. Yuni hanya tidak mau anaknya lepas kendali lagi di jalanan dan berakhir di rumah sakit.
"Kalian duduk duluan deh. Biar gue yang pesen," ucap Bella. Gadis itu buru-buru melangkah memesan sate untuk mereka.
Dhila dan Raka melangkah menuju salah satu meja yang berada di sebelah tembok. Mereka duduk berhadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...