Fifty Three -Zone Compatible-

300 22 86
                                    

Kenapa kamu harus sibuk mikirin omongan orang lain? Mereka hanya tau beritanya, bukan ceritanya.

****

“Jadi dia mau nunggu kamu sampe siap?”

Bella menghela napas, mengangguk menanggapi kalimat Wila. Keduanya kini tengah duduk di kamar Wila. Bella menghampiri ibunya itu, menceritakan semuanya pada Wila.

Mungkin ini pertama kalinya Bella cerita soal asmara pada Wila. Selama ini gadis itu hanya cerita tentang sekolahnya saja.

Ah, ada orang yang kadang-kadang berpikir keresahan orang seperti Bella hanya tentang pelajaran, nilai, dan ulangan. Padahal pikiran orang-orang seperti Bella jauh lebih rumit daripada pikiran mereka yang menjalani kehidupan ‘normal’ di luar sana.

Wila yang sejak tadi diam akhirnya tersenyum. “Kamu tau gimana caranya liat kamu udah siap atau belum untuk pacaran lagi?”

“Kata Raka, kalau Bella udah cemburu sama dia, artinya Bella udah siap.”

Wila menggeleng pelan. “Kamu udah siap, Nak.”

Bella mengernyit. “Maksud mama?”

“Iya. Kamu udah siap.” Tangan Wila terulur mengusap rambut panjang putri semata wayangnya itu. “Kalau kamu udah bisa cerita ke orang lain tentang perasaan kamu, artinya kamu gak sanggup mendam lebih lama lagi.”

Bella terdiam. Benar juga. Selama ini dia tidak pernah cerita pada siapa-siapa tentang perasaannya. Bahkan ketika dengan Rey dulu, Bella tidak pernah menceritakan isi hatinya pada orang lain. Dhila saja tahu karena gadis itu bertanya padanya.

“Selama ini kamu gak pernah cerita soal cinta ke Mama. Bukan karena kamu belum ngerasain semuanya. Tapi karena kamu belum menyibukkan diri dengan cinta. Cinta belum jadi bagian penting dalam hidup kamu,” jelas Wila. “Tapi kalau kamu udah bisa cerita ke Mama atau orang lain, artinya cinta udah dapet posisi penting di hidup kamu, Nak.”

Bella menghela napas pelan. “Terus Bella harus gimana, Ma?”

“Ya ikutin kata hati kamu, Sayang. Kalau misalnya Raka ngajak kamu pacaran, ya kamu terima kalau memang kamu cinta sama dia.”

Bella menggigit bibir bawahnya. “Tapi tanggapan orang lain gimana? Bella kan baru aja putus dari Rey. Mereka pasti mikir Bella kayak cewek murahan. Abis putus langsung jadian lagi.”

Wila terkekeh. “Kenapa kamu harus sibuk mikirin omongan orang lain? Mereka cuma tau beritanya, bukan ceritanya, kan?”

Bella terdiam lagi. Benar juga.
Wila menghela napas pelan. Ia menepuk pundak Bella. “Kita emang sering dikasih kesempatan kedua, Nak. Tapi apa salahnya kamu nerima di kesempatan pertama? Lagi pula, kesempatan kedua itu belum pasti adanya.”

****

Sementara itu, di warung bakso dekat kosan Dhila, kedua remaja itu juga duduk bersebelahan, saling curhat. Ah, lebih tepatnya Dhila yang curhat karena Raka tadi sudah curhat melalui telepon.

Omong-omong, Dhila memang selalu curhat dengan Raka. Meski cowok itu kerap tak memberi solusi, setidaknya Raka bisa membuat Dhila melupakan masalahnya beberapa hari. Raka punya cara sendiri untuk menenangkan seseorang.

Dhila mengaduk kuah baksonya sambil menghela napas. “Gue bingung harus gimana, Ka. Gue seneng Rey notice gue lebih dari temen. Tapi gue takut dia ninggalin gue di saat dia patah hati.”

Raka meneguk es teh manisnya. “Tapi lo masih suka sama dia?”

“Gue gak mau jawab karena gue yakin lo tau jawabannya.”

Zone Compatible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang