“Boleh gue dapet kepercayaan untuk jadi satu-satunya di hati lo?”
****
Seperti apa yang diucapkan Rey di kantin ketika jam istirahat tadi, Bella akhirnya pulang bersama Raka. Pikiran Raka masih dipenuhi dengan ucapan Dhila tadi. Cowok itu masih bingung harus melakukan apa.
Haruskah ia menyatakan perasaannya pada Bella tanpa menunggu gadis itu siap? Kalau ia menunggu Bella siap, kemungkinan buruknya adalah Bella bisa jatuh hati pada lelaki lain.
Raka menghela napas pelan. Ia mengeluarkan motornya dari parkiran kemudian menghampiri Bella yang menunggu di pos satpam dekat gerbang sekolah.
Raka berhenti di depan Bella. “Ayo naik.”
Bella mengangguk sekilas kemudian memakai helm putihnya dan naik ke jok belakang motor Raka. “Ayo.”
“Kita makan dulu ya,” tawar Raka. Bella mengangguk sekilas. Raka tersenyum kemudian melajukan motornya meninggalkan area sekolah.
Motor yang dibawa Raka berhenti di depan sebuah café yang tak begitu jauh dari sekolah. Ini café favorit Raka sejak dulu. Dulu ia selalu datang ke café ini setiap pulang sekolah. Tapi akhir-akhir ini ia memang tidak pernah lagi mengunjungi café favoritnya itu.
Bella turun dari motor Raka. Gadis itu melepas helm kemudian merapikan sekilas rambutnya. “Tumben mampirnya ke sini.”
Raka melepas helmnya dan merapikan rambut hitamnya. Gerakan sederhana tapi mampu mengundang debaran luar biasa untuk Bella. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Matanya memanas mengingat semua hal yang pernah terjadi antara dirinya dan Raka beberapa hari ini. Bukan. Ia bukan menangis karena hal menyedihkan. Raka tak lagi menjadi memori menyedihkan dalam dirinya.
Terharu. Gadis itu terharu.
“Gue kangen makan di sini.” Raka turun dari motornya. Baru saja hendak meraih lengan Bella, cowok itu jadi tertegun melihat mata Bella sudah basah. “Hei, lo kenapa?”
Bella menggeleng. Ia mengusap mata basahnya sekilas kemudian tersenyum. “Ayo makan.” Bella menarik lengan Raka masuk ke dalam café itu.
Setelah memesan, keduanya duduk berhadapan di dekat jendela.
Raka memainkan jemarinya. Cowok itu merutuk dalam hati. Kenapa ia jadi bingung mau ngomong apa sama Bella? Bukankah selama ini ia selalu punya banyak bahan obrolan apalagi ketika dengan gadis di depannya ini?
Bella sendiri pura-pura sibuk dengan ponselnya. Buka kunci layar, buka WhatsApp, keluar WhatsApp, buka instagram, keluar instagram, buka galeri, keluar galeri, geser menu, diam sejenak hingga ponselnya terkunci, menekan tombol power, buka kunci layar, buka WhatsApp, begitu terus.
Raka berdeham. “Bel.”
Bella mengangkat wajah. Untung saja Raka membuka obrolan ini. Bella meninggalkan kegiatan sok sibuknya tadi. “Kenapa?”
“Lo kenapa nangis tadi? Gue ada salah?”
Bella mengulum bibir bawah. Tentu saja ia bingung ingin menjawab apa. Dirinya saja juga bingung kenapa matanya memanas seketika. “Ah, gue gak apa-apa. Mungkin kelilipan.”
Raka memangut. Hening lagi.
Kembali ke kegiatan awal. Raka sibuk memainkan jemarinya dan Bella sibuk buka kunci layar, buka WhatsApp, ah sudahlah terlalu panjang kalau diteruskan.
Raka sibuk dengan pikirannya. Mungkinkah ia harus mengungkapkan semuanya pada Bella sekarang? Ia benci keadaan diam seperti ini.
Raka berdeham lagi. “Bel, gue mau nanya boleh?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Zone Compatible ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Kompatibel : bergerak sesuai keserasian, kesesuaian Kadang kita menilai diri sebagai protagonis padahal tanpa sadar kita menjadi antagonis untuk orang lain. Sebuah kisah sederhana tentang cinta dan ketulusan. Start : [20 November...