TRIPLE XL OVE | 40

1.5K 126 19
                                    

Senyum masih terukir di bibir Yoan. Kedua tangannya ia silangkan di atas meja, dan mata menatap bucket bunga didepannya.

Bian didepannya hanya tertawa geli melihat ekspresi Yoan. "Biar apa sih dilihatin terus begitu? Nanti malah layu." Sindir Bian, Yoan mendongak dan menatap Bian malu.

Rona merah itu masih tercetak jelas di pipi tembamnya, membuat Yoan terlihat menggemaskan. Bian menghela nafasnya berat kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang didudukinya. Pria itu tersenyum sendiri.

Tak ada rasa bosan bagi Bian menikmati wajah gadis didepannya ini, menikmati setiap ekspresi yang dibuat oleh gadisnya. Bian menaikkan satu alisnya keatas, mengamati wajah Yoan dan menemukan ada yang beda dari wajah gadisnya. Matanya mengernyit, apa hanya perasaannya saja, atau memang pipi Yoan tidak setembam saat terakhir kali ia bertemu dengannya.

Bian berdehem pelan. "Dimana pipi tembam kamu?" mulut Yoan menganga, terkejut, tak menyangka akan pertanyaan tak terduga yang dilontarkan Bian. Spontan Yoan langsung meraba kedua pipinya dengan menangkupkan kedua tangannya.

Yoan menepuk-nepuk dengan pelan kedua pipinya. "Apa begini masih kurang tembam?"

"Kamu diet?" Yoan menggelengkan kepalanya. 

"Enggak." Yoan menggelengkan kepalanya.

"Baguslah, nggak usah pake diet-dietan, apapun bentuk kamu, nggak masalah buat aku—aku tetep suka." Yoan melempar satu kelopak bunga kearah Bian.

"Bentak—bentuk, kamu fikir aku ini apa, plastisin? He, yang bisa dibentuk jadi apapun." Yoan mencebik kesal. Bian hanya terkekeh. "Kalaupun diet, ya kenapa? Aku kan pengen cantik juga." lanjutnya lirih, tapi meski begitu Bian masih bisa mendengarnya.

"Kamu udah cantik kok sayang." ujar Bian dengan kekehannya, Yoan hanya mendengus.

"Udah belom si pacarannya?" Sada tiba-tiba saja duduk di samping Bian setelah menarik salah satu kursi yang kosong. Keduanya terkekeh, dan itu membuat semburat merah di pipi Yoan kembali muncul.

"Biasa, Da. Yang lagi kasmaran! Berasa kafe ini cuma milik berdua." Sahut Henry.

"Eh tapi, gue baru tau kalo Bian bisa gitu juga. Diajari siapa si Bi?" Bian menatap Sada kesal.

"Romantis tau, kak." Sahut Revi. Membuat beberapa pria itu terkekeh. Sedang Yoan hanya senyam-senyum sendiri.

"Sudah jangan goda Bian terus kayak gitu, bisa-bisa dia pulang dan ngadu ke ibu Aisyah." sambung Rikas, kekehan terdengar.

Bian hanya mengulas senyumnya membiarkan para sahabatnya itu mengolok dirinya, biarkan saja, efek kelamaan jomblo aja mereka itu.

"Tunggu bentar kalo mau pulang gue ke toilet dulu." pamit Rikas.

Bian menatap ponselnya yang bergetar, pria itu hanya melirik sebentar tanpa ada keinginan untuk menjawab. Yoan yang ada disampingnya melirik pria itu sekilas. Pria itu melanjutkan obrolannya, baru beberapa saat ponselnya kembali bergetar. Yoan memberi isyarat agar Bian menerima panggilan yang entah dari siapa itu, "Jawab aja, daritadi bunyi terus ponsel kamu."

Bian menatap Yoan sebentar, kemudian menghela nafasnya, "Aku angkat telpon bentar ya," Pamitnya pada Yoan, sebelum kemudian meninggalkan Yoan bersama teman-temannya.

Ekspresi wajah Bian berubah datar, suaranya mendadak dingin saat menjawab panggilan itu, bisa ditebak siapa yang sedang berbicara dengan Bian diseberang sana.

"Udah berapa kali gue bilang, gue nggak mau lo ngelibatin gue. Lo urus aja semuanya sendiri. Gue nggak mau tau."

"Tolong dong, Bian. Ini kan acara kita berdua, acara sakral Bi, ini pernikahan seumur hidup yang hanya sekali, dan bukan Cuma ada gue doang Bian, ada lo—ada kita berdua. Gimana gue bisa ngurus sendirian. Ini perlu ada lo, Bian." Bian tertawa mendengar kalimat Myesa, merasa lucu dengan ucapannya perempuan itu, seolah Myesa paham saja kalau menikah itu butuh kesepakatan kedua belah pihak. "Ayolah Bi tolong kerjasamanya, ayahmu bilang kalau kita harus secepatnya menyelesaikan persiapan pernikahan ini."

Triple XL OveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang