TRIPLE XL OVE | 41

1.1K 103 9
                                    

Memang benar, mengharap terlalu banyak kepada sesama manusia ujungnya pasti seperti ini, kecewa. Yoan hanya mengharapkan hubungan yang baik dengan Bian, tapi apa? Baru saja hubungan keduanya membaik, baru saja Yoan mulai luluh dengan bunga dan lagu yang dibawa Bian. Baru saja, gadis itu dibawa Bian terbang, lalu dihempaskan begitu saja, menyisakan rasa sakit yang luar biasa.

Konon katanya, cinta bisa membuat seseorang kecanduan, layaknya obat. Apa Yoan begitu? Kenapa rasanya perih sekali seperti tersayat, ngilu pada ulu hati. Ia sudah pernah patah hati, tapi patah hati yang ini kenapa rasanya menyakitkan sekali.

Gadis itu, duduk di tepian kasurnya dengan isakan yang membuat kedua pundaknya bergetar. Hatinya sangat sakit, mencoba untuk menghentikan tangisnya saja Yoan tak bisa. Mencoba menekan dengan keras dan menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak agar ia bisa menghentikan tangisnya.

Dengan begitu, Yoan berharap hatinya bisa sedikit merasa lega dan tenang.

Semua kilasan tentang ucapan Bian kembali terngiang di kepalanya, semua sikap Bian, dan pertanyaan yang sempat hadir dikepalanya akhir-akhir ini kembali muncul dikepalanya.

Dan semua itu sudah ia dapatkan jawabannya. Mengingat kejadian semalam, Yoan kembali menangis, gadis itu menelungkupkan kepalanya, menutup wajahnya dengan kedua tangannya untuk melanjutkan isakannya.

Rikas berdiri beberapa saat didepan pintu kamar Yoan. Isakan terdengar dari dalam sana, meskipun samar. Tanpa perlu mengetuk, Rikas memutar kenop pintu kamar adiknya dan melihat adiknya tengah bergelung dibawah selimut, dan menangis.

Rikas menatap adiknya sedih. Menghirup nafas sebentar, berjalan lalu duduk ditepian kasur Yoan, disamping adiknya.

"Dek." panggil Rikas dengan menepuk salah satu bagian yang Rikas anggap bahunya itu.

"Hmm." jawab Yoan dengan suara serak, tanpa repot membuka selimutnya.

"Udah dong jangan nangis terus kayak gini! nggak baik. Emang kamu nggak capek?" Rikas masih menatap selimut yang berisikan adiknya itu. "Nangis boleh sih tapi jangan kelamaan."

Yoan menggeliat lantas membuka selimutnya dan menatap abangnya itu. Matanya bengkak. "Aku nggak tau, ini air mata keluar terus bang, nggak bisa berhenti masa!" Rikas menghela nafasnya dengan berat. "Hatiku rasanya juga kayak di robek, sakit, perih nggak ada darahnya, padahal!"

"Aku nggak bisa nahan bang, kalau inget tu rasanya—" Yoan tak melanjutkan ucapannya, karena isakannya kembali terdengar. "Aku fikir ditinggal nikah rasanya biasa aja kayak patah hati biasa aja, tapi ini lebih sakit dari di jadiin taruhan sama Kamal dulu." ujarnya sambil menepuk-nepuk dadanya. "Disini rasanya sesak hampir bikin aku nggak bisa nafas." Yoan menunjuk dada kiri bagian atas.

Rikas menatap adiknya dengan sedih, pria itu berulang kali berujar maaf pada adiknya itu karena tak bisa menjaganya. Ini sudah kesekian kalinya, Rikas melihat adiknya sedih dan menangis seperti ini. Sesuatu hal yang tidak pria itu perkirakan akan terjadi pada adiknya, ketika ia menyerahkan dan mempercayakan adiknya pada sahabatnya sendiri.

Rikas merasa ada sesuatu yang salah dari Bian tapi Rikas masih belum menemukan apa itu. Karena beberapa hari ini, setelah kejadian itu, Rikas sama sekali belum bertemu dengan Bian. Entah kemana pria itu, mungkin saja Bian sedang sibuk dengan pernikahannya. Bian sialan, pria itu asyik mengurus pernikahan sedang Yoan sedang nelangsa seperti ini.

Rikas hanya mengusap bahu adiknya dengan sayang lantas kemudian memeluk adik gempalnya itu, "Udah ya jangan nangis terus, kalo masih nggak mau diem, abang gak tahan lihat kamu nangis gini. Apa abang pukul aja Bian, abang hajar sampe bonyok sampe kamu lega, dan berhenti nangis, boleh?"

Triple XL OveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang