sisi burukku

1K 170 9
                                    

Rizky menatap dalam makam yang bertuliskan nama Aliya disana. Tempat terakhir gadis kecil itu untuk beristirahat. Suasana masih berkabung, namun satu persatu pelayat sudah meninggalkan pusara tersebut untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.

Rizky banyak mendengarkan bela sungkawa dari beberapa kerabatnya lalu meminta ijin untuk pergi dari sana. Hanya anggukan pelan dari pemuda itu untuk membalas ucapan orang-orang tersebut. Tidak beberapa lama kepergian pelayat, air mata pemuda itu kembali memenuhi beberapa bagian wajahnya. Rupanya, bayangan Aliya si gadis kecil tak begitu bisa membuat Rizky terlihat tegar. Meski hanya seorang adik angkat, namun melupakan kenangan bersamanya dalam ingatan Rizky, sangat membuat perasaan Rizky mengatakan bahwa dia tidak sanggup!

Rizky terduduk disisi makam yang masih basah, beberapa kata penyesalan terus dilontarkan dan menyalahkan diri sendiri akan kematian Aliya. Namun, siapa sangka? Bahwa ucapan itu bukan hanya untuk dirinya. Syifa yang sudah berdiri sejak beberapa menit yang lalu kali ini ikut mengusap punggung Rizky pilu.

Sedikit membuat Rizky terkejut akan kedatangan gadis itu tiba-tiba disisinya, dan akhirnya tidak ada yang bisa Rizky lakukan selain langsung memeluk tubuh Syifa dan menangis sejadi-jadinya dalam dekapan gadis itu.

"Dia sudah pergi Syifa, aku bahkan belum membuat dia sembuh seperti janji aku padanya.." Rizky terus berucap tanpa membiarkan Syifa membalas semua ucapan itu. Dan Syifa? Dia tau kalau Rizky hanya butuh didengarkan, bukan dinasehati.

"Kau tau kan? Dia adalah gadis kecil yang kuat. Dia menahan semua kesakitannya hanya untuk tidak membiarkan aku menangis melihatnya tersiksa," lanjut Rizky. Kali ini, pemuda itu seperti anak kecil yang merengek pada ibunya. Melihat Rizky seperti itu, Syifa hanya mengangguk lalu mendengarkan tanpa mengeluarkan pendapatnya.

*

Ya. Kematian memang kapan saja bisa memanggil, pada siapa dan meninggalkan siapa? Namun rasa-rasanya banyak yang tidak bisa menerima kehendak Tuhan lalu memilih menyalahkan dirinya akan kematian yang Tuhan haturkan untuk makhluknya. Begitu pun Rizky, ia mengingat seberapa sering dirinya menasehati Syifa untuk tidak menyalahkan dirinya karna kematian kedua orang tua gadis itu. Dan saat ini, ia baru tau jika ia lebih buruk dari Syifa.

Rizky menatap kelam hamparan jalan yang berada dihadapannya, tidak peduli hari sudah mulai sore ia masih terdiam disekitar area pusara. Sedangkan Syifa, tanpa merasa keberatan, gadis itu menunggu Rizky untuk berucap padanya. Dan benar, Rizky berbalik lalu tersenyum pilu kearah Syifa.

"Kau terlihat bodoh," kata Syifa.

Entah pernyataan itu justru sedikit mengundang tawa Rizky yang perlahan berubah menjadi kesedihan kembali.

"Aku, aku ini kakak dan paman yang payah buat Aliya."

"Mungkin memang kau merasa begitu, tapi Aliya yang melihatmu dialam sana berkata lain." Syifa tersenyum dengan kedua tangannya menunjuk ke arah langit. "Disana, dia tersenyum melihat pamannya yang payah itu merasa sangat kehilangan dirinya, dan jika Aliya diberi kesempatan oleh Tuhan, gadis kecil itu mungkin meminta agar menghapus jejak air mata di mata mu lalu kembali duduk manis disisiNya."

"Demi Tuhan Syifa, kali ini aku merasa sangat lemah. Aliya, dia gadis kecil yang terlalu baik untuk meninggalkan aku dan teman-temannya,"

"Dan dia gadis yang beruntung memiliki keluarga sepertimu." Syifa bertutur lembut lantas kedua tangannya memegang erat punggung tangan Rizky, mencoba untuk mengembalikan keyakinan pada pemuda itu.

"Yakin, dia sedang tersenyum disana." lanjutnya.

📖📖

Setelah pulang dari pemakaman dan sampai dipintu gerbang rumahnya. Rizky baru menyadari satu hal jika selama ia bersama Syifa tidak terlihat kursi roda gadis itu dimana-mana, bahkan didalam mobil miliknya sekalipun.

Tentu ini mengundang tanya untuk Syifa. Pemuda itu berkerut dahi lalu sorot matanya tak henti mencari kursi roda tersebut.

"Sudah sampai. Maaf karna aku enggak bisa anterin kamu sampai kedalam. Enggak pa-pa kan?" alih-alih meladeni ucapan Syifa, Rizky malah mempertanyakan sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya tersebut.

"Kursi roda kamu mana?"

"Kamu baru menanyakan itu?" tawa Syifa terlihat begitu ceria, lantas berbeda dengan Rizky yang masih merasa bingung akan perubahan gadis itu. "Aku udah enggak lagi menggunakan kursi itu ky, aku udah jalan. Aku sembuh!" Syifa terlihat bahagia saat menyebutkan itu. Dia lupa bahwa Rizky mungkin tidak begitu meresponnya karna masih dalam keadaan berkabung. Tawa itu kembali redup lalu Syifa terdiam.

"Kamu.. Syifa?"

"Iya. Mungkin waktu ini tidak pas, aku hanya ingin melihat tawa bahagia kamu saat mendapati kedua kakiku sudah ku gunakan dengan baik, tapi sepertinya tidak begitu membuat kamu terlihat baik-baik saja." Syifa bertutur panjang lebar, dan tertunduk. Ia bahkan tidak menyadari bahwa kabar itu seketika membuat mata Rizky berbinar. Memang, Rizky tidak mengucapkan apa-apa, namun saat memeluk Syifa dengan erat lalu nafas yang terdengar legah sudah mampu menangkap pikiran Syifa bahwa Rizky benar-benar bahagia mendengar itu.

"Aku... Bahkan melupakan ada satu orang yang sangat aku tunggu untuk ini, Syifa makasih kamu udah mengantarku menjauh dari suasana menyedihkan dan menggantinya dengan kabar bahagia darimu." Rizky memeluk tubuh Syifa erat.

"Rizky.." lirih gadis itu.

"Aku akan membawamu ketempat-tempat yang sudah aku janjikan untukmu. Dan juga, kita..." Rizky tidak lagi bisa membahas semua yang sudah ada dalam bayangannya, ia terlalu bahagia melihat kedua kaki Syifa. Meski terlambat untuk dia menyadarinya.

**

'Saya sudah mengira hal ini akan cepat terjadi, perkembangannya sangat baik sekali. Dia sudah bisa meninggalkan kursi roda itu. Tapi, meski begitu Syifa harus tetap mengontrol kedua kakinya agar mendapatkan proses penyembuhan yang sempurna' Dokter Haris tersenyum lantas memberikan foto rontgen kaki Syifa yang sudah terlihat membaik.

"Terimakasih dok, saya akan selalu mengingatkan adik saya untuk kontrol. Jadi, sekarang dia sudah benar-benar bisa berjalan kan?"

"Ya. Kau jangan khawatir, penyembuhan itu akan permanen yang terpenting Syifa tidak melupakan akan kewajibannya untuk memeriksa tulang kaki sampai enam bulan."

Kali ini Lisa mengangguk mengerti, dan setelah beberapa menit berlalu perempuan itu akhirnya berpamitan pada dokter Haris dan berlalu meninggalkan ruangannya.

Kini tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi. Lisa mengulum senyum ketika mengingat janji pada kedua orangtuanya untuk melindungi sang adik dan menjaganya selama ia membutuhkan pertolongan.

Lisa sudah membuktikan dirinya bisa diandalkan akan kebutuhan Syifa. 'Mah, pah.. Kalian tenang ya. Lisa akan terus memegang janji Lisa akan menjadi kakak yang baik untuk Syifa.' batin Lisa.

Tbc!!

Tbc!

Bunga Untuk SyifaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang