BUS 29

170 22 4
                                    

"Maaf Syifa. Saya ingin berkata jujur kepadamu karna saya rasa kamu berhak tau tentang penyakit ini." Dokter Haris berucap pelan "bagaimanapun juga, saya tidak bisa menjanjikan kesembuhan untuk kamu. Tapi saya bisa memberi penanganan atau obat khusus yang mesti kamu konsumsi setiap hari. Dengan begitu rasa sakit yang di hasilkan penyakit kamu sedikit bisa berkurang. Atau bisa saja kamu menjalani kemoterapi, itu juga sedikit bisa kamu andalkan," lanjut dokter Haris dengan menatap Syifa iba. sudah banyak kasus yang ia tangani tentang berbagai penyakit kanker, tapi jika penyakit itu sudah menyerang otak, maka kesembuhan yang di hasilkan dari penderita akan lebih sedikit di bandingkan dengan kanker yang lainnya.

Syifa membeku di hadapan dokter Haris, matanya yang sejak tadi berkaca-kaca kini air mata itu sudah mengalir deras, ia terisak dan untuk beberapa kali perempuan itu mengusap lembut kedua pipinya.

"Apa dokter yakin?"

"Sebenarnya Saya juga tidak yakin Syifa, hanya saja jika di lihat dari kondisi kamu memang kecil harapan untuk kesembuhan kamu. Maaf karna mungkin ini mengganggumu, saya sudah menyarankan mu jika ingin menemui ku kau bisa datang bersama Lisa kakakmu."

Syifa menggeleng.

"Tidak apa-apa dok, aku sengaja datang kesini untuk mengetahui sendiri tentang penyakit itu."

"Tapi seharusnya kau membawa kerabat dekatmu, kau tidak bisa mengurus diri sendiri. Dan dalam waktu dekat setidaknya kau harus di rawat inap di rumah sakit kanker. Untuk mendapat penanganan yang lebih optimal."

Mendengar itu sekejap Syifa langsung teringat akan Rizky, bagaimana mungkin ia harus kembali merepotkan suaminya yang sudah bekerja keras jauh sebelum keduanya menikah. Kalau saja harus dalam penanganan rumah sakit lagi, dan itu hanya akan memakan waktu dengan tingkat kesembuhan yang sangat kecil, bukankah waktu itu lebih baik ia manfaatkan untuk mengurus suaminya?

"Syifa.." dokter Haris menyebut nama itu beberapa kali saat beliau yakin perempuan yang sedang di hadapannya hanya melamun.

"Maaf dok. Sepertinya saya harus pulang. Suami saya sedang menunggu di rumah," ucap Syifa.

"Tapi apa benar kalau kamu baik-baik saja," dokter Haris mengamati perempuan itu yang kini semakin pucat. Apalagi setelah mendengar beberapa kali perempuan itu terbatuk.

"Sebaiknya kamu telfon suami mu saja, dan minta beliau untuk datang kesini."

Sekali lagi Syifa menggeleng.

"Mungkin lebih baik aku di rumah saja dok," Syifa memohon diri sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan ruangan dokter Haris. Oh tuhan!! Bagaimana mungkin semuanya harus begitu cepat terjadi? Bisa kah ia mengulang awal pertemuannya dengan Rizky, setidaknya ia bisa bersikap lebih manis daripada yang sebelumnya. Syifa menyesal.

****

Rizky menautkan kedua tangannya ke pinggang istrinya menyandarkan kepalanya ke bahu perempuan itu. Nafasnya sedikit terdengar. Dengan posisi seperti itu, menyempatkan Syifa untuk mengusap pipinya segera, sebelum Rizky tau kalau dirinya sedang menangis.

"Kamu lagi mikirin apa sih?"

Pertanyaan itu akhirnya terurai, Rizky yakin sedari tadi Syifa terdiam dengan berbagai macam persoalan di dalam kepalanya. Namun alih-alih mendapat jawaban yang ada hanya gelengan kepala dari sang istri.

"Syif," Panggil Rizky lembut.

Syifa berbalik ke kanan yang langsung mendapati wajah Rizky. Untung saja lelaki itu menutup matanya, sehingga Rizky tidak sempat untuk menyadari dengan kesedihan Syifa barusan.

"Ada apa?"

"Apa kamu yakin untuk tidak menjalani pengobatan mengenai sakit kamu? Apa kamu seputus asa itu dengan apa yang kamu alami sekarang?"

Syifa menghela napas. Kali ini ia melepas kedua tangan Rizky dari pinggang mungilnya, lantas beralih menghadapkan dirinya ke arah Rizky.

Kedua sorot mata itu kembali bertemu. Syifa menangkup wajah sang suami, lalu menatap dalam manik mata milik Rizky.

"Aku tidak akan menjalani pengobatan itu bukan berarti aku putus asa." Syifa terdiam beberapa saat. "Tapi aku rasa, kesembuhan aku tidak ada di rumah sakit manapun, kesembuhan ku ada disini, kamu."

Setelah berucap pelan Syifa tidak mendapati senyuman di wajah Rizky, bahkan lelaki itu terlihat kecewa dengan apa yang di katakan Syifa padanya. Ia tau Syifa sudah banyak menyimpan kesedihannya sendiri, namun lagi-lagi Rizky tidak begitu tau apa yang sudah Syifa alami belakangan ini. Ia hanya tau Syifa berusaha sembuh di hadapannya.

"Aku hanya percaya, apa yang kamu katakan padaku bukanlah sebuah hiburan untuk aku, kamu tau apa yang membuat aku bahagia selama ini hanya kamu. Mungkin aku enggak bisa memaksa kehendak mu dengan semua keinginan ku untuk kamu." Rizky memutus kalimatnya, kali ini tatapannya terlihat sangat serius. "Tapi aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau suatu saat terjadi sesuatu padamu, syif, aku tidak akan memaafkan diriku.!". Untuk beberapa saat perempuan itu terdiam, lantas membiarkan sang suami meninggalkannya sendiri di dalam kamar.

Sementara itu beberapa saat Syifa mengangkat kepala, melihat punggung Rizky yang semakin menjauh. Rongga dadanya seakan di penuhi kesesakan yang sangat menyakitkan. Lalu apa yang harus ia perbuat?

"Aku hanya mau menjadi istri yang bisa kamu andalkan. Kamu sudah banyak berkorban untuk aku Rizky, kamu sangat baik. Mungkin memang benar kamu tidak akan memaafkan diri kamu sendiri kalau suatu saat terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan dengan kondisi aku, tapi aku juga tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai kematian itu datang, hanya kesusahan yang aku datangkan dalam hidup kamu selamanya, Rizky,"

***

Rizky membuka matanya perlahan, matahari yang sudah menjadi penerang sejak tadi menyadarkan ia akan keterlambatannya masuk ke kantor. Buru-buru ia membuka selimut lalu beranjak dari ranjang tidurnya. Beberapa saat sebelum akhirnya ia juga menyadari bahwa Syifa masih tertidur, tidak seperti biasanya.

Syifa tertidur atau sedang berada dalam kesulitan, wajahnya yang pucat serta raut wajahnya yang seperti menahan kesakitan. Juga dengan hembusan nafasnya yang tidak beraturan, sudah meyakinkan Rizky akan apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang baik-baik saja.

"Syifa.." Rizky memanggil lembut nama itu, namun tidak ada jawaban, kepanikan Rizky mulai terasa ketika ia mendengar Syifa mendesis.

"Syifa!!" Panggilnya lagi yang kali ini suara Rizky sedikit lebih terdengar takut. 

"Tolong Rizky.."

"Iya iya sayang. Kita ke rumah sakit sekarang!!"

Syifa menggeleng. Perempuan itu berusaha menunjuk nakas, meminta pada Rizky untuk segera mengambil sebotol obat yang tersedia disana.

Rizky mengerti, lalu dengan cepat lelaki itu mencari sampai ke dalam laci, dan syukurlah tidak butuh waktu beberapa menit ia menemukan obatnya. Rizky segera mengambil air yang juga tersedia disisi lampu tidur lalu mengambil sebutir obat menuntun Syifa untuk menelan obat itu bersamaan dengan air yang sudah dalam genggamannya.

Rizky tidak dapat mengatur diri sebelum akhirnya melihat Syifa jauh lebih baik dari sebelumnya. setidaknya ia bisa bernapas lega melihat tidak ada lagi wajah kesakitan yang membuat lelaki itu panik.

"Maaf tidak bisa membangunkan kamu untuk ke kantor."

"Hari ini juga aku tidak akan ke kantor."

"Rizky, aku enggak apa-apa."

"Aku tidak mau. Aku akan disini temenin kamu."

Ucapan Rizky seakan tidak ingin mendengar bantahan lagi. Syifa pun terdiam menatap Rizky beberapa saat.





TBC!

See you on the next part.

Tinggalin komentar dan likenya yuk buat author. Hehe

Bunga Untuk SyifaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang