Chapter 5

2.1K 244 21
                                    

Kring...
Kring...
Kring...

Suara telepon itu sungguh menggangguku, ini jam berapa lho ya? Sudah malam sekali.

"Za, Ernando sama Brylian telepon itu," kata Mama mengguncang tubuhku.

"Hemmm," sambil meraba ponselku, aku dapat tapi tidak ada tulisan telepon di sana. Jadi aku letakkan lagi lalu memejamkan mata lagi.

"Bukan telepon ke hape kamu, Za, tapi ke telepon rumah," kata Mama membuat mataku sedikit terbuka.

"Bilang aja lagi tidur, Ma," kataku tidak mau terbangun hanya untuk kedua sahabatku yang paling juga minta aku ke hotel mereka.

"Sudah tapi mereka tetep mau bicara, mau kamu dibangunkan," sambil mengguncang tubuhku.

Ada apa pula? Mereka itu selalu menjadi pengganggu tidurku, itu terjadi sejak SD. Dulu kalau waktunya tidur siang, mereka yang paling sering manggil-manggil depan rumah cuma buat minta aku nemenin mereka main bola di lapangan yang panasnya minta ampun. Sekarang mereka juga masih menjadi pengganggu tidurku.

"Aduh kamu itu, Za, Za, ini masih jam setengah 9, Sayang."

Berusaha membuka mata, memang aku tidur setelah sholat isya' tadi mau bagaimana lagi kan.

"Ya sudah, Mama bilang aja Azza yang telepon mereka," kataku mengucek mata lantas mengambil ponsel di sebelahku.

Mama mengangguk, mengecup keningku lalu berjalan pergi.

Memang benar apa kata Mama, ada puluhan panggilan tak terjawab dan itu dari Ernando dan Brylian. Bahkan pesan-pesan mereka juga cukup banyak. Terkadang aku heran, mereka itu sedang TC atau hanya main saja, ada aja waktunya pegang ponsel.

"Ahhh kebo! Jam segini temennya baru mau tidur situ udah bangun tidur!" Teriak Brylian begitu dia mengangkat telepon dariku, padahal aku baru akan membuka mulut dan mengucapkan salam.

"Jangan gitu ah. Za emang gitu kan dari dulu? Kebo, tapi jangan diperjelas juga. Kasian tahu."

Aku tahu itu suara Ernando yang melambungkan lalu menjatuhkan.

"Dasar Sutar! Kirain tuh mau membela, tahunya jatuhin juga. Kenapa nih kalian malem-malem gini telepon? Kalian tuh lagi TC ya, fokus persiapan, gawainya agak ditinggal!"

"Nah, itu masalahnya!" Kedua sahabatku itu bersorak bersama, kompak sekali.

"Apa?"

"Besok kita nggak boleh pegang hape, Za. Terutama waktu makan malam, pegang tuh sehari dua jam doang, Za. Gimana dong?" Brylian dengan nadanya yang cukup kecewa dan sedih.

"Ya emang kebanyakan main gawai itu nggak bagus, gimana lagi coba? Coach Fakhri pasti punya alasan, kenapa pemainnya dikurangi main gawai alias ponsel."

"Ya terus gimana kalau rindu sama kebo kaya kamu coba, Za? Ah, susahlah!"

"Nanti kalau rindu, sebut namaku tiga kali."

"Biar apa? Biar kamu datang?"

"Ya enggaklah, ya sebut aja tiga kali, ha ha ha."

Aku dengar Brylian menghela napas panjang dan kecewa. Habis mau gimana lagi kan? Mau minta pelatih Timnas U-16 membatalkan aturan itu? Eh, aku siapa? Cuma seorang sahabat yang akan selalu mendukung mereka anywhere dan everywhere.

Tapi aku tidak dengar ada suara Ernando di sana, maksudku suaranya mengeluhkan hal yang sama. Apa dia tidak ada di tempat? Atau dia akhirnya sibuk dengan pacarnya? Habis kulihat di kontaknya banyak nomor perempuan. 

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang