Chapter 70

908 153 53
                                    

Aku, Za, telah lama menghilang dan sekarang ditemukan. Bukan, aku bukan menghilang, aku hanya ingin membiasakan hidup tanpa dua laki-laki itu. Bukan demi kebaikanku, tetapi demi kebaikan mereka dan negara ini.

Perempuan, jika dia datang pada laki-laki hanya untuk merusak apa yang laki-laki punya, lebih baik pergi saja daripada merusak dunia. Begitupun sebaliknya untuk laki-laki yang hanya ingin datang untuk merusak barang berharga seorang perempuan. Sadar diri dan pergilah.

Bagiku itu, jadi aku pergi jauh.

Sekarang aku di dalam kereta cepat menuju Leicester. Menuju tempat di mana cukup tenang, meskipun tidak ada yang mengalahkan ketenangan Indonesia meski gaduh-gaduh persiapan pemilu begitu ramai.

Sampai di Leicester, sendirian,tetapi aku sudah terbiasa dengan ini.

Kling...

Ponselku berdering, dari Zico. Mau bilang apa lagi dia? Mau memarahiku lagi. Sudah cukup rasanya.

Ah, tapi dia yang banyak membantuku selama ini, yang menyembunyikan aku, yang selalu menasihatiku tanpa lelah.

"Mau sampai kapan lari dari kenyataan?" Tantangnya yang pertama tanpa salam, tanpa apapun.

"Udah deh, Co! Kan kita sudah debat soal ini berapa kali, capek juga aku, udah aku jelasin berapa kali. Gini aja sudah, sudah aman, mereka juga sudah nyaman dengan kehidupan mereka tanpa aku!"

"Za! Masalahnya itu nggak sesederhana pikiranmu. Aku juga tahu kok perasaanmu nggak sesederhana itu," katanya melemah di akhir.

"Kamu nggak ngerti juga, Co. Perasaan apa itu nggak penting."

"Za! Kamu lari sejauh ini kamu bilang nggak penting? Berapa bulan kamu lari ke Leicester cuma buat melupakan perasaan yang mulai kamu sadari sendirian?"

Sejak Nenek meninggal, Papa memang mengajakku pergi, tadinya ke USA untuk meneruskan bisnis propertinya dengan kawan Papa di sana, tapi tawaran dari orang Indonesia di Leicester lebih menggiurkan bagi Papa. Mama yang awalnya menolak akhirnya pun ikut karena aku sendiri mengiyakan. Rencana agar jauh dari kedua sahabatku sementara waktu itu memang berhasil.

Meski terkadang Zico sangat berisik memintaku untuk sekedar menemui sahabatku, bahkan sebelum aku berangkat ke Leicester waktu itu, kala aku bisa transit ke Soekarno Hatta, Zico yang datang menemuiku masih meminta hal yang sama.

Zico menjadi sahabat baru, bukan, menjadikan dirinya sendiri sebagai pelarianku. Yang selama ini terjadi, Zico bukanlah kekasihku, dia ialah penolong yang tidak bisa juga aku mengerti mengapa dia melakukan itu semua padaku.

"Dua orang itu sudah semakin kesetanan kalau ingat soal kamu. Ah sudah baik-baik tadi aku pertemukan biar bisa kalian perjelas semuanya. Malah kabur!"

Aku tersenyum saja. "Tidak semudah itu, Mourinho!"

"Malah sampai Mourinho, nggak Sarri sekalian?"

"Ole Gunnar Solskjaer aja sekalian."

"Pep Guardiola, Jurgen Klopp, Zinedine Zidane sekalian!"

"Bima Sakti sekalian sih, Co. Atau Iwan Setiawan. Ha ha ha."

"Astaga, malah bahas pelatih coba?! Za aku ngomong seriusan ini!"

"Emang aku ada tampang bercanda gitu, Co? Enggak tahu!"

Zico malah hanya diam cukup lama.

Bukan aku tidak mau menceritakan semuanya pada kedua sahabatku, tapi aku pikir semua sudah baik-baik saja. Mereka tanpa aku sudah baik-baik saja, dan aku tanpa mereka mungkin akan segera baik-baik saja.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang