Chapter 46

924 129 21
                                    

Ernando Point of View

"Tangkap!" Pekik pelatih kiper ketika kami berlatih di salah satu lapangan di dalam markas TNI.

Latihan beberapa hari ini terkesan tidak begitu bernyawa. Ada hal-hal hilang, rasa setiap sentuhan pada bola. Mungkin karena semua pikiranku tentang Brylian dan Za. Ada yang aneh di dalam diri mereka, seperti ada yang sembunyi di baliknya.

Usai latihan pagi ini, aku berkumpul dengan Supri, Vedha, kembar dan Zico. Bercengkrama menunggu ponsel dikembalikan. Berbincang tentang rasa dan beberapa taktik bagi mereka.

Ini satu Minggu menjelang keberangkatan ke Malaysia. Bersiap melawan negara-negara kuat yang sempat memandang kami sebelah mata. Kudengar Iran menanggap kami hanya tim hiburan, dan kami tersinggung sekali, merasa negara kami diremehkan.

"Kesel kan gue lihat berita online kemarin," kata Andre yang tiba-tiba menyambar perkataan Supri tentang berita yang dia baca di laman internet.

"Sama kesalnya, tapi lo percaya kita bisa lawan negara yang sudah berulang kali masuk Piala Dunia?" Tanya Komang Teguh dengan raut psimis.

Bagas meredup, Supriadi pun melakukan hal yang sama.

"Ah, mereka manusia ini. Kalau mereka Tuhan kita pasti tidak bisa mengalahkan, tapi selama mereka manusia, bahkan dengan cara apapun kita bisa mengalahkannya!" Pekik Bagus dan aku setuju dengan hal itu.

Orang-orang internasional sibuk menyebut bahwa tim kami terlalu lemah untuk berduel dengan Iran. Orang-orang mengunggulkan Iran berada di atas angin. Negara ini benar-benar dipandang lemah oleh dunia, padahal kita punya 200 juta lebih penduduk yang punya kemampuan, hanya sayang sedikit yang mau memanfaatkan.

"Seseorang yang mencintai negeri ini dengan sungguh-sungguh itu selalu berusaha yang terbaik tetapi selalu percaya dan optimis bahwa negeri ini kuat, hebat, bisa lebih baik. Hanya orang-orang lemah yang selalu psimis tentang negeri ini. Psimis tak akan merubah nasib bangsa, yang kita butuhkan adalah optimisme dan keyakinan!" Tekan Bagus lagi dan dia terlihat lebih dewasa dibandingkan Bagas kali ini.

"Bener juga," sambar Supriadi.

Bagus mengangguk-angguk bangga. "Gue gitu. Gue sebel kalau ada orang psimis, kek nggak punya Tuhan tahu nggak?! Lemah!"

"Santai, Gus!" Seru Bagas.

"Bodo amat!"

Aku menahan tawa. Kalau sudah begitu Bagas dan Bagus bakalan berantem, adu mulut paling tidak.

"Eh btw, gimana Za?" Tanya Bagus padaku.

"Sehat," jawabku singkat.

"Maksudnya kejujuran kamu sama Za."

Bagus ini sama saja sebenarnya sama Zico, dia labil, kadang minta aku jujur sama Za tapi kadang dia minta jangan. Kadang dia minta aku bicara dulu sama Brylian tapi dia bilang tidak ada masalah. Kan aneh, kenapa harus berbicara dengan Brylian kalau tidak ada masalah? Tunggu, kecuali Brylian ternyata ada rasa yang sama dengan Za.

Mulai menyadari lagi, ada satu dua tatapan yang sungguh bisa kuyakini itu perasaan suka. Brylian suka pada Za? Apa yang membuat mereka berdua adalah perasaan mereka yang sama? Apakah aku terlalu terlambat?

"Kalian tahu nggak apa Brylian pernah cerita dia suka sama Za?" Tanyaku pada keempat temanku.

Bagas dan Bagus saling memandang, Supri mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu, Komang Teguh mengernyitkan dahi dan Andre Kobra memandangku aneh.

"Lo kan sahabatnya Brylian, kenapa tanyanya sama kita?" Ucap Andre.

Benar juga, mana mungkin mereka tahu. Tetapi aku mulai yakin Brylian ada perasaan pada Za, dan Za tahu itu. Jika tidak, kenapa sikap mereka aneh? Belum lagi Za mulai bilang tentang segitiga bermuda. Dan sebelumnya Za sakit selalu bilang kalau dia takut kehilangan kita. Padahal, tak ada masalah di antara kami waktu itu.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang