Chapter 11

2K 205 26
                                    

"Makasih ya, Co," kataku sedang berhadapan dengan Zico di lobby hotel.

Ada juga Bagas dan Bagus yang tengah menonton film dan acuh dengan dunianya. Mumpung ponsel sedang diizinkan kata dua sahabatku. Nanti malah sudah tidak boleh lagi. Terlebih esok seperti hari tenang bagi mereka, tak ada yang boleh datang untuk menjenguk, bahkan media cukup dibatasi. Orang tua diberi waktu malam ini jika ingin menemui para anaknya. Bahkan Mama dan Papaku nanti malam juga ikut datang, aku saja yang agaknya tidak bisa ikut dengan mereka. Jadi aku datang siang ini.

"Sama-sama, Za, eh bener Za kan?"

Aku mengangguk.

"Brylian banyak bercerita tentang kamu."

"Bukan kamu yang nanyain aku?" Tanyaku tanpa menyaring satu dua kalimatnya. Tapi inilah aku, ceplas-ceplos seadanya.

Zico menggaruk kepala bagian belakangnya. "Iya sih."

"Pengen tahu banget kamu, Co!" Candaku.

Dia tersenyum.  "Eh btw kenapa tadi sama Nando sama Brylian? Sudah mulai tahu masalahnya?"

Menghela napas. "Bukan masalah yang kamu maksud kok, Co. Cuma ya kecewa dikit. Eh, kamu kalau lihat mereka berdua deket sama cewek bilang sama aku ya? Kamu juga Bagas, Bagus!"

"Hah?" Bagas dan Bagus langsung melepas headset mereka dan menghadapkan wajahnya padaku. Rambut keriting itu sungguh lucu ditambah bulat bibir bingungnya.

"Kalau Brylian sama Nando dekat sama cewek tolong bilang ke aku!" Tekanku lagi.

"Bilangnya?" Tanya Zico, Bagas dan Bagus kompak. Semacam orang kembar tiga dalam satu kelompok paduan suara.

Aku tahu maksudnya, maksudnya bagaimana caranya mereka bilang, melalui media apa.

"Bilang aja mau minta nomor sahabat gue kan lo?!" Timbrung Brylian yang baru saja turun dari kamarnya diikuti Ernando yang berlari kecil. Mereka memang harus ganti baju dulu, bau asem katanya habis latihan. 

"Ye, sensitif amat! Kalian udah mulai mengekang satu sama lain? Seberapa lama sih kalian bertahan bertiga kaya gini?"

Ernando yang belum benar-benar di dekatku langsung berhenti karena ucapan Zico, sementara Brylian memandang Zico cukup geram, dan aku masih datar. Dan di antara kami ada kembar yang menepuk jidatnya.

"Kalian tahu kan mitos segitiga bermuda? Bagaimana orang-orang tenggelam di sana? Itu karena mereka bermain di segitiga yang telah menjadi momok bagi banyak orang. Ya begitulah kalian nanti, salah satu atau bahkan kalian semua lenyap dalam bangun datar bernama segitiga. Pusaran kalian kan terlalu berbahaya."

"Ah segitiga bermuda juga belum dibenarkan secara teori, masih banyak spekulasi," kataku kesal setiap kali ada orang membahas tentang segitiga Bermuda.

Aku benar-benar tidak suka dengan ketidakpastian, sangat tidak suka.

"Ya itu hanya Tuhan yang bisa menjelaskan teorinya dan kamu percaya, Za. Tapi segitiga Bermuda dalam persahabatan semacam ini sudah terlalu banyak terjadi, dan salah satu teori yang gunakan ialah cinta datang karena terbiasa. Bukan apa-apa, cuma mengingatkan."

Menghela napas panjang, tepat saat Kembar, Bagas dan Bagus menarik Zico untuk pergi dari hadapan kami. Si Sutan Diego Armando Ondriano Zico itu berhasil sekali membuat kedua sahabatku tidak berkutik, mereka diam di tempatnya dan malah kelihatan kikuk.

"Apa sih, Gas?" Memprotes Bagas. "Za, jangan lupa follback instagramku," teriaknya menjauh. 

Aku mengangguk saja, dengan sedikit menahan tawa melihat cara Bagas menarik kerah kaos Zico.  Dan iya, aku memang tidak banyak memfollow pemain Timnas, paling cuma Bambang Pamungkas, Hansamu Yama, Witan Sulaeman, Moch Supriadi dan kedua sahabatku.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang