Chapter 72

917 136 11
                                    

Brylian Point of View

Pagi-pagi ketika dingin semakin merasuk, usai latihan rutin yang kali ini bertema fisik, aku dan Nando menunggu di depan Aston University. Aku tak sabar dengan janji kedatangan Za, untuk itu aku juga tidak berniat menceritakan bagaimana latihanku dengan yang lainnya. Kali ini benar-benar hanya aku dan Nando, Zico tidak mau ikut meski aku sudah mengajak, dia bilang dia tidak merindukan Za. Semudah itu dia berhubungan dengan Za sampai tidak merasakan rindu. Pacar macam apa dia itu?

"Za pergi lagi nggak ya nanti, Bry? Takut pergi lagi tanpa penjelasan," keluh Nando memainkan ponselnya, diputar-putar saja dengan gelisah.

"Nanti aku pegangin sebelum dia jelasin nggak akan aku lepasin. Aku beneran, Tar, nggak minta jawaban atas perasaanku, toh kita sudah sama-sama tahu dia pilih Zico. Walaupun jujur, ditanya masih punya perasaan enggak, ya, masih."

Perasaan untuk Za itu tidak hilang, masih sama, hanya saja aku belajar mengikhlaskan dia untuk Zico. Toh katanya yang paling indah dari mencintai adalah mengikhlaskan perasaan yang tidak terbalaskan.

"Sama aja, Bry. Jujur kalau ditanya masih punya perasaan sama Za enggak, ya masih. Belajar ikhlas aja buat Za sama Zico, asal Za bahagia dan tetep jadi sahabatku, cukup. Mencintai kan bukan harus memiliki, bahagianya itu pas kita masih dekat sama yang kita cintai meskipun memendam perasaan."

Aku mengangguk-angguk. Lebih menyenangkan cinta dalam diam tapi masih dekat daripada tahu tapi akhirnya menjauh.

Menunggu cukup lama sampai akhirnya datang seorang perempuan dengan jaket tebal warna cokelat, sepatu boots hitam dan rambut yang tergerai sebagian tertutup oleh syal.

Perempuan itu hanya berdiri di depan kami dengan kedua tangan di saku jaket.

"Maaf lama menunggu," katanya lantas aku persilahkan duduk di antara aku dan Nando.

Kami bertiga diam, sangat lama, hanya menikmati dingin Birmingham.

"Maaf kalau selama ini bikin kalian bingung dan mencari-cari, tapi..."

Penjelasan Za sepertinya akan dimulai, dan aku pun Nando hanya diam, menunduk, tak kuasa melihat Za. Kami juga tidak ingin memotong kalimat Za, daripada dia pergi lagi sebelum menyelesaikan bicaranya.

"Bagiku lebih penting kebaikan tim kalian daripada aku bersama kalian, toh orang-orang benar, aku cuma merusak tim kalian," katanya tersenyum getir.

"Enggak, itu kan kesalahan aku dan Brylian, Za. Karena kita kurang dewasa aja mengerti cinta. Cinta kan nggak harus memiliki kan, Za? Kita sudah paham kok. Dan sekarang kita tidak menuntut itu, toh kita tahu yang kamu pilih Zico," sahut Nando setelah menemukan momen yang tepat.

Za diam.

"Iya, Za. Kita cuma nggak bisa kehilangan kamu sebagai sahabat saja kok. Nggak masalah lagi kalaupun perasaan ini jadinya hanya bertepuk sebelah tangan. Kalau kita bisa seperti dulu lagi, nggak akan aku dan Nando nuntut atas perasaan itu. Kita berdua pasti dukung kamu sama Zico," kataku padanya.

"Malam itu," kembali terhenti dan Za menunduk.

Dengan sangat sabar, aku dan Nando diam menunggu. Detik demi detik mungkin terbuang sia-sia oleh diam. Bahkan waktu istirahat kami diatur sebenarnya, jika tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik, bisa jadi waktu pertemuan ini tidak menghasilkan penjelasan apapun. Tapi lebih baik daripada harus kehilangan Za lagi karena dia merasa tak nyaman dengan aku dan Nando.

"Malam itu aku tidak jadian dengan Zico," katanya dan itu sangat membuat aku dan Nando menoleh padanya tanpa hitungan detik setelah dia diam.

Jadi selama ini apa kalau mereka tidak jadian? Aku masih ingat betul Za bilang dia pacarnya Zico. Aku masih ingat betul luka yang dia berikan waktu itu, rasanya seperti jatuh dari lantai 13 sebuah gedung tapi sekarang yang aku dengar itu semacam kebohongan. Aku akan percaya kisah yang mana? Kalau mereka tak jadian, kenapa Za bilang macam itu? Kenapa pula Zico tahu banyak hal tentang Za? Termasuk keberadaan Za yang susah payah aku pun Nando temukan.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang