Chapter 53

854 125 12
                                    

Ernando Point of View

Ungkapan Brylian tentang dia menyesal telah mengenalku, dia menyayangkan kepindahanku ke Sidoarjo membuatku terus berpikir, seolah kehadiranku seperti hadirnya rudal balistik ke suatu negara, menghancurkan. Padahal coba saja pikirkan bagaimana jika dunia ini menghilangkan satu subjek diantara aku dan Za, jika Brylian tidak ada, semua tak seburuk ini. Aku sendiri malah jadi semakin kesal dengan Brylian. Seenaknya saja itu mulut berbincang.

Mana si Zico pakai acara mengunci kamar dari luar pula. Cuma pengen minum saja tidak bisa. Hanya bisa meratap amarah di balik penjara rasa yang ambigu.

Kling...

Rifai, ada masalah apa, tumben dia menghubungiku. Terakhir kali dia menghubungiku waktu aku belum berangkat TC AFF, bayangkan berapa bulan yang lalu padahal dia teman sekelasku. Kami memang biasanya hanya berkabar soal tugas sekolah. Nah sekarang, tidak mungkin membicarakan tugas sekolah kan?

"Ndo!" Pekiknya membuat telingaku berdenging sekian detik. "Gendeng kon yo!"
(Gila kamu ya!)

"Tekke, opo?!" Bentakku kesal.

Dia telepon tanpa salam, tanpa permisi tiba-tiba saja mengumpat dan membentakku. Menyebalkan sekali Rifai ini, padahal biasanya dia banyak diam, sebelum diusik dia tidak akan mengusik.

"Aku tahu masalah kamu, Brylian sama Za. Kamu gila, Ndo?!" Bentaknya lagi.

"Kamu lagi sama Za? Aku mau bicara sama Za."

"Dia nangis!" Jawabnya ketus.

"Nangis? Kenapa?"

"Masih tanya kenapa? Kelakuan kalian! Ndo, pikir ulang perasaan kamu!"

"Emang perasaan itu pakai otak? Yang bisa mikir cuma otak. Perasaan itu pakai hati!" Tegasku terpancing emosi.

"Ashhh, kamu ya, Ndo! Terus kenapa gitu harus jatuh cinta sama Za? Rumit tahu nggak masalahnya sekarang. Ini aku aja cuma tahu sedikit, kalau tahu banyak pasti lebih rumit lagi. Kasian aku sama si Za, kasian banget, Ndo! Kenapa sih harus jatuh cinta?!"

Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telingaku, suaranya benar-benar seperti orang marah dan khawatir. Padahal Rifai biasanya acuh sekali, dia hanya peduli pada ponselnya sendiri, dunia yang dia ciptakan sendiri.

"Emangnya cinta sebelum mengisi hati bilang permisi dulu? Enggak kan?"

Rifai malah tertawa terbahak-bahak. "Kalian itu ngapain berantem sih?"

"Siapa?"

Aku tahu maksudnya pasti aku dan Brylian, tapi anggap saja aku pura-pura bodoh.

"Ya kamu sama Brylian lah. Kalian itu sebenarnya masih sangat kompak bahkan saat bermusuhan.  Kalimat kamu tentang cinta itu sama dengan kalimat Brylian, cuma diparafrase aja."

"Nggak kenal Brylian! Mending kasih telepon kamu sama Za deh, Rif!"

"Dia nangis mulu, Cuk!" Bentak Rifai makin kalap saja dengan emosinya.

Aku diam, pengang pula telingaku ini. Sumpah, ini pasti tadi pagi si Rifai nyemil megaphone-nya pembina upacara sebelum masuk ke kelas.

"Bentar, Ndo!"

"Buruan lah, aku mau minta ngomongan sama Za bentar!" Giliranku membentak.

"Ben..."

"Rif, kamu lihat lagi tuh, sumpah siapa sih admin Timnas U-16 FC ini!" Suara dari seberang terdengar kesal sekali. "Mana Za nggak mau keluar dari kamar mandi."

"Hallo, Rif," panggilku tidak mendapat jawaban.

"Woy! Siapa yang jadi admin lambe-lambean murah kaya gini? Woy!" Teriak Rifai semakin kesetanan lagi.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang