Setelah Mama kembali ke Surabaya, aku sudah kembali pulang ke rumah. Hanya dengan Mak Jum yang setia, ikhlas meninggalkan anak cucunya, menemaniku sepanjang waktu. Sesekali Kak Kevin dan Keemas datang kemari, atau Tante Erna yang baru saja kembali usai dua hari pulang ke Semarang. Aku merepotkan banyak orang hanya karena pertanyaan yang tidak aku temukan jawabannya.
Tidak ada yang tahu aku jatuh sakit hanya karena pertanyaan dan pernyataan seorang sahabat. Ah, mungkin Kak Kevin tahu, dia terus saja meminta maaf atas surat yang Brylian kirimkan, jadi anggap saja dia tahu aku sakit karena apa.
Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga Brylian yang membuatku semacam ini, jika saja aku tidak terlalu pemikir, masih doyan makan atau setidaknya masih mau bergerak dan bukan hanya menangis. Bisa jadi dokter tidak perlu repot-repot menyuntikku, repot-repot mengunjungi kamar inapku juga tidak perlu. Hanya saja masalah ini cukup pelik untuk aku pikirkan secara rasional, lebih sulit dari sekedar soal olimpiade matematika yang biasa aku kerjakan.
Setelah mengilhami banyak diam, tidak membalas beberapa pesan dan hanya membalas pesan dari Zico saja. Aku mulai berpikir banyak, aku harus berani berbicara dengan Brylian. Tapi sebelumnya harus temukan jawaban yang tepat untuk tetap mempertahankan.
Dengan polosnya, aku tidak pernah paham apa itu cinta, aku hanya paham apa itu suka. Aku pun tak pernah berpikir akan menjalani kisah cinta di masa SMA, semua akan indah ketika aku sudah dewasa. Maka dari itu aku tak punya jawaban tepat untuk pertanyaan dan pernyataan Brylian. Tapi aku merasa harus meluruskan. Satu hal yang paling aku takutkan tetapi akhirnya akan selalu terjadi, kehilangan.
"Mbak Za, dapat kiriman," kata Mak Jum setelah mengetuk pintu kamarku dua ketukan.
Aku tengah menatap kosong jendela kamarku, menuju dinding kosong pula milik tetangga sebelahku. Hanya berpikir perihal takut kehilangan dan mengungkapkan penjelasan.
Kepada siapa aku harus berguru tentang cinta?
"Mbak!" Panggil Mak Jum lebih keras karena aku belum menanggapinya. "Dapat surat ini. Heran zaman sudah canggih, masih saja ada yang menggunakan surat ya," gumamnya membolak-balikkan amplop putih di tangannya.
"Letakkan di situ saja, Mak," menunjuk meja kecil di samping tempat tidur.
Aku menatap Mak Jum dengan pertanyaan, "apakah Mak Jum bisa mengajariku tentang cinta?" Lantas aku jawab sendiri, "Tidak".
Merebahkan tubuhku ketika Mak Jum pergi dari kamarku, memejamkan mata sekilas dan aku tahu, seseorang yang tepat dan ringan dalam berdiskusi, Zico. Ah, tapi dia pegang ponsel atau tidak?
Melihat tanda online dan itu cukup membahagiakan.
"Wa'alaikumsalam, passwordnya," sapa Zico padahal aku belum mengucapkan salam.
"Apa sih, Co? Masih berapa waktu buat pegang hape?"
"Lima menit, tapi kalau untuk kamu bisa selamanya," candanya terkekeh.
"Ishhh, lagi sama siapa?"
Memastikan dulu tidak ada Ernando ataupun Brylian di sana. Tentu akan ada hubungannya dengan mereka.
"Sama..." Ditahan cukup lama. "Rendy, kembar, dan banyak lagi. Kenapa? Kalau cari Nando sama Brylian, sepertinya mereka lagi galau tingkat tinggi karena merindukanmu."
Aku diam, aku merindukan mereka dan itu sangat-sangat merindukan, sudah ada dilevel tertinggi meski baru beberapa hari.
Dulu santai saja mengatakan rindu, sekarang harus banyak perkembangan, seperti takut kehilangan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan kecuali diam, dan berpikir tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...