Ernando Point of View
Tubuhku makin terbujur kaku, tapi napasku menderu. Apa yang Zico katakan membuatku melambung tapi tak bisa berpikir kelanjutannya. Hanya sempat bertanya dalam otakku, apakah itu benar?
Pintu kamarku terbuka, Brylian dari dalam, menggenggam ponselnya dan menatap Zico datar.
"Aku nggak salah dengar kan?" tanya Brylian.
Zico diam, aku diam, hanya sekian detik.
"Sudah, masuk aja. Jangan dengerin Zico, ngaco dia!" ucapku menarik Brylian masuk ke dalam kamar.
Bukan aku mempercayai lantas tak siap jika Brylian mendengarnya. Tapi dalam hal ini aku menolak mempercayai, takut terlalu berharap pada akhirnya.
"Tapi aku denger jelas, Tar!" kata Brylian terdengar santai.
Aku langsung menoleh ke arahnya, saling menatap diam.
"Aku dengar kok tadi, jelas dari dalam. Foto kamu yang Za sentuh lebih dengan rasa. Tapi pertanyaanku sejujurnya sama, Tar. Kenapa aku yang dihubungi sementara kamu enggak?"
Mengalihkan pandanganku ke jendela kecil yang tertutup. Sedang musim dingin, jadi tidak mungkin membuka jendela.
"Ya, mungkin karena dia akhirnya sadar, dia terlalu merindukan kamu, Bry," kataku menatap jauh jendela itu.
Brylian diam.
"Tapi menurut Zico justru kamu, kita semua tahu kan sejak kita ada masalah, Zico yang paling dekat dengan Za. Ini aku serius lho, Tar. Kalau memang kamu yang akhirnya bikin Za jatuh cinta, aku nggak masalah. Kalau pun bukan kamu, tapi orang lain, aku juga nggak masalah. Karena cinta itu datang dan pergi, menggenggam dan melihat, memiliki tanpa pernah memiliki."
Menoleh pada Brylian. "Tapi cinta itu bergejolak, menimbulkan sebuah usaha, pengorbanan, aksi nyata. Jadi kalau yang Za hubungi kamu, itu artinya ya bisa jadi kamu yang buat Za jatuh hati."
Brylian mengernyitkan dahinya.
"Aku nggak masalah juga kok, Bry. Seperti katamu, sakit sih jelas, kalau nggak mau merasakan sakit, mending minta sama Tuhan buat nggak ngasih kita hati. Tapi yang namanya rasa itu bisa punya masa. Tidak pernah ada yang tahu kapan rasa itu berhenti atau menguat. Santai sih aku, ya kalau ditanya masih suka Za, ya masih."
"Sama," jawab Brylian singkat sambil menunduk.
Kami berdua diam cukup lama, berdiri tanpa duduk, memandang satu titik fokus yang jauh, berpikir yang entah ke mana pikiran Brylian. Kalau otakku hanya berpikir tentang, apa yang harus aku lakukan tapi tidak kutemukan jawabnya.
Cukup lama sekian lama, dan yang aku pikirkan hanyalah...
"Kita tanya Zico aja, jalan keluarnya kita harus gimana. Pokoknya kalau misalkan salah satu diantara kita benar-benar dipilih, kita sudah ambil keputusan untuk ikhlas dan mendukung. Tapi Owl Squad tetep ke mana-mana bareng," usulku.
Dan Zico langsung mengangguk, membuka pintu dan berjalan lebih dulu ke tempat Zico berada. Mungkin ada di kamarnya dan Amanar.
"Co," sapa Brylian begitu dia membuka pintu.
"Ap..." melihatku datang. "Bentar, gue panggil yang lain. Kalau kalian berantem kan nggak lucu cuma ada gue sama Amanar," katanya berlari keluar begitu saja.
Apa pula Zico itu? Memang siapa yang mau berantem, kalau pun nanti Brylian emosi, aku tak akan balas. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Lagi pula apa sih faedahnya bertengkar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...