Ernando Point of View
Hari berganti dengan wajah lesu, kabar tentang Za dan Zico sangat menyakitkan. Siapa yang datang duluan kalah dengan yang menjadi pilihan. Aku tidak menyangka itu Zico, membuatku semakin murka dengan nasib dunia. Dan aku semakin tidak menyukai tim ini, mana yang bilang tim ini keluarga? Bahkan keluarga tidak akan memakan keluarganya sendiri.
Semalaman kami dikurung dalam satu kamar, sesalkan semua suara yang kami dengar semalam.
"Sebelum berangkat, Coach Fakhri minta kita kumpul dulu, samakan tujuan, samakan rasa, samakan mimpi-mimpi kita, samakan keyakinan hati kita," kata David ketika melewati kamarku. "Ditunggu di kamar paling ujung, kamarnya Amanar sama Supri."
Aku mengangguk saja dan Brylian juga melakukan hal yang sama.
"Gue pengen pulang, ketemu sama Za, tanya kenapa harus Zico? Kenapa yang lama mengenal kalah dengan yang baru saja datang?" Gumam Brylian.
Hal yang sama pun aku rasakan, aku ingin pulang saja, tanya pada Za apa alasannya dia bisa jatuh cinta dengan Zico. Tanya padanya kenapa bisa secepat itu? Kenapa bukan aku yang sudah lama bersamanya?
Perdana jatuh cinta sudah disambut duka lara, bagaimana dengan yang kedua atau yang lainnya? Za itu, jatuh cinta perdana dan lara perdana.
Brylian keluar kamar lebih dulu, dia tidak banyak berbicara denganku, dia hanya sibuk marah sendiri dan sibuk sendiri. Meski ada aku, dianggapnya tidak ada. Karena rasa yang sama, persahabatan kami bukanlah apa-apa. Toh siapa yang mulai lebih dulu? Brylian kan? Dia yang mulai masalah pelik ini.
David memberikan kami arahan, mengenai tujuan kami datang ke Malaysia untuk cetak sejarah baru. Visi dan misi kami semua disamakan. Tidak boleh ada yang berbeda.
Aku sedikit menatap Zico kesal, dia masih saja bisa tertawa dengan Amanar, Bagas dan Bagus. Padahal semalam dia buat kesalahan yang fatal padaku dan Brylian. Lihat saja luka lebam di wajahnya, tidak satupun menghilang dalam semalam, masih jelas tergambar.
"Siap!" Jawab kami semua atas instruksi David.
"Gue harap nggak ada lagi yang baku hantam, cinta yang akan kita bawa hanya Cinta pada Tuhan dan Negara kita. Yang lain singkirkan dulu!" Pekiknya seolah menyindirku dan Brylian.
Dia tidak tahu saja rasanya bagaimana cinta bertepuk sebelah tangan dan harus kehilangan sahabat.
Semalam Za bilang agar aku dan Brylian menghapus dia dari kenangan kami. Mana bisa? Seolah dia mau pergi. Apa aku bisa tanpa Za? Tapi kenyataanya, berulang kali aku menghubungi tidak satupun mendapatkan jawaban.
Kami mulai perjalanan, Bandara Soekarno Hatta menuju Malaysia.
Aku menatap nanar langit biru, awan menggumpal putih berasa mendung. Biasanya Za akan menghubungi kami, Za akan bilang kalau kami harus bersungguh-sungguh, kami bawa nama negara, ingat bahwa muara dari mimpi-mimpi kita adalah Indonesia. Kali ini? Sepoi angin saja rasanya malas menyapa kami, apalagi Za yang langsung tidak dapat dihubungi sejak semalam.
Aku mencoba mendekati Zico,kalaupun Za berganti nomor, sudah pasti Zico tahu. Dia kan pacarnya, mana mungkin tidak tahu?
"Zico," panggilku tanpa rasa malu, semalam memukulnya dengan amarah.
"Iya?" Jawabnya menoleh datar.
"Minta nomornya Za yang baru."
Zico mengernyitkan dahi. "Dia nggak ada nomor baru," jawabnya santai tapi membuatku kesal.
"Tapi dia nggak bisa dihubungi."
"Dia butuh sendiri sementara waktu, toh dia sudah bilang untuk menghapus kenangan kalian kan?" Tantangnya malah menjadi angkuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...