Chapter 71

957 143 19
                                    

Ernando Point of View

"Bry, Ndo, ada yang mau ngomong nih!" Pekik Zico membuatku dan Brylian menghentikan langkah kami.

"Yah, dimatiin," keluh Zico berusaha menghubungi lagi.

Dari layar ponselnya mungkin dia Za, perempuan yang kita cari selama ini tapi tak pernah mau menampakkan diri. Sekali menampakkan diri tidak mau menjelaskan apapun. Masihkah tentang masa lalu beberapa bulan yang lalu itu menjadi trauma tersendiri baginya? Tapi aku dan Brylian pun baik-baik saja. Tak masalah jika dia memilih Zico. Hanya saja akan lebih baik jika dia mau menjelaskan mengapa dia harus pergi. Toh aku dan Brylian tidak lagi mengharapkan jawaban, kita semua sudah tahu jawabannya.

"Za lagi?" Tanyaku pasrah.

"Iya, gue suruh jelasin sama kalian. Udah cukup lah kita semua terjebak di masalah pelik kaya gini," katanya merebahkan tubuh di atas sofa kecil dekat lobby Aston University.

"Bilangin sama dia lah, Co. Kita nggak lagi maksa buat jawab perasaan kita, mau dia sama elo juga ikhlas kita. Yang nggak kita ikhlasin cuma satu, kenapa kita nggak bisa bersahabat kaya dulu lagi, itu aja," ungkap Brylian malah ikut bersandar di dekat Zico.

Zico membenarkan posisi duduknya. "Gue udah bilang kaya gitu tapi sahabat lo itu keras kepalanya udah kebangetan. Dia masih takut aja kalian berantem."

"Seandainya dia itu percaya sama apa yang gue bilang. Gue nggak nuntut dia harus bales apa perasaan gue. Toh gue ikhlas aja dia sama lo, Co. Tapi dia nggak mau dengerin gue, dia takut aja gue sama Sutar nuntut lebih!" Brylian pun terbawa emosi.

Zico malah tertawa terbahak-bahak, membuatku dan Brylian bingung bukan kepalang. Di mana letak kelucuannya? Apakah cinta kami yang bertepuk sebelah tangan ini lucu baginya? Semudah itu dunia menjadi lucu bagi Zico?

"Astaghfirullah, dosa gue pasti banyak banget dah. Gimana caranya mohon ampunan sama Allah SWT coba?" Keluhnya semakin membuat kami berdua bingung.

Jadi kami hanya diam saja.

"Dulu ngapain gue berpikir hal kaya gitu cuma buat menyelamatkan satu orang yang sebenarnya mau kek gimana juga nggak bisa diselamatkan. Emang bisa gitu orang jatuh ke perasaan cinta diselamatkan? Enggak, hello, gue bodoh amat waktu itu ya?" Gumamnya.

Aku mendekati Zico, menyentuh dahinya dan tidak terjadi apa-apa kecuali dingin. Cuaca Brimingham memang sedang dingin merasuk.

"Lo belum gila kan, Co?" Tanyaku.

"Udah gila gue gegara kalian semua. Btw kalau Za pilih salah satu di antara kalian. Kalian berantem nggak?" Tanyanya sambil nyengir.

Aku dan Brylian saling memandang. Bagaimana bisa Za memilih kami sementara Sutan Diego Armando Ondriano Zico adalah yang Za pilih. Ini anak kena apa sebenarnya bisa bikin lelucon kaya gitu?

"Gimana?" Ulang Zico.

"Gimana pala lo peyang! Za aja pilih elo, kagak usah deh nambahin masalah. Kita mah nggak minta apapun kecuali persahabatan ini kaya dulu lagi. Mau Za sama elo, sama Amanar sama Supriadi sekalipun, ikhlas gue ikhlas asal dia kagak pergi," celetuk Brylian dan aku setuju dengan itu.

"Yang terpenting itu bukan bagaimana perasaan kita terbalaskan, Co. Tapi bagaimana senyum manisnya masih menemani impian kita yang tidak pernah mati," kataku mengingat semua senyum semangat Za untuk mendukung kami.

Zico terdiam. "Gue harap kalian bener-bener sudah dewasa. Gue telepon Za ya?"

Brylian menatapku. "Kaya dia mau ngomong aja sama kita, Co. Dia maunya ngomong cuma sama pacarnya, elo!"

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang