Chapter 26

1.4K 171 27
                                    

Brylian Point of View

"Za?" Panggilku dan Nando pagi ini di depan rumah Za. Nando harus berangkat ke Semarang pagi-pagi buta ini, sebelum nanti sore dia harus bertemu dengan Walikota Semarang memenuhi undangannya.

Kami berani teriak pagi-pagi samacam ini karena Tante Halida dan Om Herman sedang ada di luar kota untuk urusan bisnis. Apalagi Sutar eh Ernando, sudah pasti kalau ada Tante Halida ngucapin salam aja gagap, boro-boro teriak. 

"Titip Za entar, kamu apa-apain lagi nanti," bisik Ernando di tengah-tengah kami sibuk memanggil sahabat kami.

Mengangguk. "Iyalah, emang diapain juga. Nggak usah dibilangin gitu juga biasanya gimana, Tar!"

Ernando hanya menatap datar saja.

Aku rasa tidak perlu disampaikan ulang aku harus menjaga Za, karena sampai saat ini pun aku tidak pernah lupa bagaimana caranya menjaga Za. Tanpa diminta, tanpa ada seseorang yang memaksa pun aku tetap akan menjaga Za, Za itu, dia salah satu alasanku tetap tegak berdiri setiap waktu.

"Berapa lama di Semarang?"

"Dua hari doang," jawabnya.

Za keluar dengan dandanan ala kadarnya anak SMA, tapi boleh diakui dia selalu cantik dalam berbagai suasana, bahkan meski tanpa polesan make up yang dipaksa seperti kebanyakan anak SMA masa sekarang. Dia tersenyum manis tanpa merasa bersalah, kami menunggunya sudah sejak tadi. Selalu saja, senyumnya di pagi hari adalah definisi embun yang jatuh dari pohon.

"Yuk lah," ajaknya dan kami pergi di antar sopir Papaku, Cak Ikhsan.

"Kenapa sih? Masih ngantuk?" Tanya Sutar pada Za yang menyenderkan kepalanya di bahu Ernando dan memejamkan matanya.

"Iya," jawabnya. "Semalem tidur jam sepuluh buat ngerjain tugas bahasa Indonesia, habis itu harus bangun jam 3 buat siap-siap."

Aku tersenyum, tetap saja mata itu memejam meski sedang menjawab pertanyaan tapi yang lebih membuat kami ingin tertawa adalah, jam 10? Tidur jam segitu masih termasuk malam, bukan yang terlalu malam atau bahkan tengah malam. Hitungannya wajar lah, bukan sesuatu yang berat, tapi untuk ukuran kebo macam si Za, ya sudah pasti berat sih.

"Ah, emang dasar kalau kebo suka gitu," sambil mengusap kepala Za dan itu selalu membuat Za merasa nyaman.

Ada gejolak yang tidak aku suka, Za begitu manja pada Ernando pagi ini? Padahal dia biasanya juga manja di depanku. Ah, itu hanya rasa iriku, bukan rasa cemburu kan? Jangan sampai. Aku tetap ingin persahabatan ini ada selamanya, bukan menjadi Bermuda Triangle seperti yang selalu diungkapkan Zico, meski aku percaya juga hal itu bisa saja terjadi.

"Kebo Za, Za, kok bisa di Elang Crazy rich Sidoarjo itu suka sama kamu," candaku.

"Yang crazy rich bapaknya bukan dia, dia mah apa? Cuma pelajar upil. Ntar kalau dia mewarisi harta bapaknya baru crazy rich hasil warisan, nah kalau dia kaya karena usahanya sendiri ya itu baru crazy rich. Masih upil dia itu, ha ha ha."

"Ha ha ha." Tawaku dan Nando bersamaan, memang benar juga apa yang dikatakan Za.

"Upil tapi mantannya anaknya Perwira Polri," Seru Ernando.

"Baru Perwira Polri, kenapa anak nggak Panglima Polri sekalian?" Sahut Za.

"Tapi aku heran sih, dia bisa dapetin yang bergengsi, lebih dari Za, tapi yang nggak pernah dia lepas dari kelas X ya, Za. Mau siapa pacarnya sudah pasti Za gebetannya, jadi sebenarnya Za ini prioritas yang sulit didapatkan," kataku.

"Ya namanya cinta itu buta," jawab Za dengan bangganya tapi aku tahu itu hanya bercandaan.

"Eh tapi, Bry. Ini bukan karena kita pernah ada masalah sama dia waktu SMP kan?" Seru Ernando.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang