Ernando Point of View
"Heran gue, punya temen pikirannya kaya gitu. Timbang pinjem gunting doang. Udah gedek sama rindu yang candu, ketambahan orang kek gitu!" gerutuku berjalan masuk ke dalam kamar Bagus.
"Ngapa dah?" tanya Amanar sepertinya baru saja dari luar.
"Ah tahu! Lagian elo sih, Gus! Ngapain sih celana dipakai di kepala? Otak lo kagak pindah kan?" ketusku.
"Kagak lah, lo pikir gue nendang bola sekarang pakai kepala?" sambil berusaha menahan sakit. "Terus ini guntingnya mana?"
"Kagak dikasih sama Zico. Masa' gue masuk kamarnya langsung didorong keluar, habis itu dikunciin pintunya. Gue berasa Vicky Prasetyo lagi grebek Syahrini deh pakai gedor-gedor! Udah gitu dituduh mau pakai gunting buat bunuh diri. Yaelah, sependek itu kali ah otak gue!"
Aku masih merasa kesal sekali dengan Zico. Biasanya mau masuk tinggal masuk juga, pakai acara didorong keluar. Kenapa sih memangnya? Dia nyembunyiin cewek Birmingham di dalam kamarnya? Astaghfirullahaladzim.
"Mana yang pinjam gunting sambil ngatain gue ribet kaya Syahrini tadi?" Zico tiba-tiba nyelonong masuk dengan membawa gunting kecilnya.
"Bodo amat!" ketusku sok-sokan ngambek di depan almari, sambil berjongkok.
"Ya biasa aja dong, kumis lo sampai menjerit-jerit gitu. Nggak tahan gue, ha ha ha."
"Ih jijik!"
"Lo tuh harus belajar berjuang yang lebih keras dong. Masa' gue gituin aja lo nyerah. Ini memperjuangkan gunting loh, gimana kalau memperjuangkan cewek? Kan gue udah bilang, bahagianya manusia itu punya waktu masing-masing. Tapi kalau lo pinjem gunting aja diuji dikit nyerah. Kapan lo mau bahagia? Emang bisa bahagia dengan berdoa doang? Lama-lama Allah SWT ngejawab nih, 'Kau ni tahu minta jeee!' emang dasar manusia!"
"Woy! Kepala gue udah sakit nih! Malah ceramah! Mana guntingnya!" bentak Bagus dengan tangan kanan memegangi celana jeans, tangan kirinya menahan rambut yang sewaktu-waktu bisa tertarik.
"Nih," Zico menyerahkan guntingnya. "Lagian elo, ngapain coba celana dipakai di kepala? Suka nyari sensasi nih."
"Nyari sensasi pala lo peyang! Gue tadi main di kamar Rendy, kamarnya berantakan sumpah, gue tiduran di tempat tidurnya, nggak lihat ada celana jeans. Pas mau bangun, udah begini," terakhir dengan wajah melasnya.
Bruno Mars gagal terkenal dengan celana jeans di kepalanya. Wajah ndesonya semakin membuatnya kelihatan memelas.
"Bentar, lo main apa sama Rendy?" giliran Amanar yang bertanya. Bukan, ini sih lebih ke menuduh terselubung sebenarnya.
"Lo pikir gue homo? Ihhhh, pikiran kau ya, macam orang fanatik politik, isinya su'udzon mulu!" balas Bagus sambil menggunting rambutnya. "Yah, berkurang 0,01% kemiripan gue sama Bruno Mars."
Aku, Zico, Amanar dan Bagas hanya memandangnya datar.
"Ndo, kalau gue kasih tahu rahasia besar, lo mau nggak berjuang lebih keras?" tanya Zico disaat yang lain mulai sibuk menata ulang rambut Bagus.
"Konsepnya nggak gitu, Badrun! Aturan orang kalau mau ngasih rahasia itu selanjutnya bilang jangan bocorin, bukannya nantang buat berjuang. Yang punya rahasia kan elo, kenapa gue yang disangkutpautkan?"
Membuka ponsel, menatap layarnya kosong. Tidak ada pesan dari Za, hanya nomor-nomor tidak dikenal yang berbondong-bondong mengucapkan selamat siang. Jadi ingat, Brylian, ketika aku pergi dari kamar tadi dia tengah berbalas pesan dengan Za. Nikmat sekali hidupnya. Ah, tapi tidak boleh iri, dengki atau apapun itu. Toh benar kata Zico, setiap manusia punya waktunya masing-masing untuk bahagia. Hanya berharap segera move on dan kembali seperti dulu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...