Chapter 68

1K 146 47
                                    

Ernando Point of View

Kebodohan strategi semalam masih terngiang, pagi ini aku mencoba membujuk Zico lagi tetapi tidak berguna. Zico malah setiap waktu menghindar. Alhasil aku dan Brylian hanya mencoba mengingat-ingat ulang nomor yang sempat kubaca, tapi ya tidak ada hasilnya. Seperti hidup penuh dengan kesia-siaan.

"Co, kasih tahu kek Za di Jakarta mana sekarang," bisikku di tengah sesi pemotretan.

Zico menoleh, memandangku datar. "Jakarta negara bagian Eropa!" Lantas pergi ke arah depan.

"Itu anak keknya anak IPS tapi kok sengklek!" Gumam Amanar di sebelahku. "Lagian elo, nyari Za mulu. Udah tahu dia menghilang. Kalau seseorang menghilang itu artinya dia terlalu sakit untuk menetap, tetapi terlalu kejam untuk memberikan kenangan."

"Omongan lo kek capres online!" Sambarku mengikuti Zico yang mulai menjauh.

"Ye, motivasi nih eh motivator."

Aku tidak peduli, terus mengejar Zico dan tetap saja tidak ada jawaban pasti atas itu. Berusaha mencari tahu di Instagramnya yang dulu pun sudah lama tidak digunakan lagi.

"Co," panggilku ketika dia berjalan-jalan di loby bersama dengan Vedhayanto.

"Apa lagi ni anak?" Vedhayanto sedikit merasa aneh.

"Brylian pasti bentar lagi nyusul. Ah, gue bilangin ya asli gue nggak tahu," jawabnya.

"Yang kemarin, gue yakin itu Za kok. Yakin gue!"

"Bawa keyakinan lo itu sampai Inggris ntar! Bawa!" Zico pergi lagi tanpa sempat dipaksa berbicara oleh Brylian.

Sampai malam, sampai kami berangkat ke Inggris Zico hanya menjawab hal yang sama, bawa saja keyakinanku itu hingga Inggris. Lantas aku meninggalkan negara ini tanpa pernah bisa bertemu dengan Za.

"Aku tuh kaya orang bodoh kadang, Tar," Brylian yang duduk di sebelahku berbicara.

"Apa lagi?" Tanyaku memejamkan mata mengingat setiap lekuk wajah Za yang tidak ingin aku lupakan.

"Lihat," menunjukkan ponselnya yang sudah berada di mode pesawat, ketika di atas ketinggian, ketika burung besi terbang ini meninggalkan negara yang amat sangat aku cintai.

DM ke Instagram Z yang memang terakhir aktif sekian bulan sebelum ada masalah dengan kami. Dia DM Za cukup banyak, banyak sekali malah, bahkan setiap apa yang dia lakukan selalu dia ceritakan meski tidak mendapat balasan. Apa Brylian secinta itu pada Za? Tapi masalahnya Za sudah dengan Zico. Mungkin dia lebih merasakan sakit daripada aku.

"Kapan ya dia baca DM kamu? Pas kita balik ke Indonesia Mei nanti, apa iya kita bisa ketemu sama Za atau bahkan tidak bertemu sama sekali?" Gumamku menyenderkan kepala.

"Kamu tanya kapan, Tar. Aku pun sama tidak tahunya, gini amat ya?" Sama menyenderkan kepalanya ke belakang.

"Aku sebenarnya cuma pengen bilang, nggak apa-apa dia nggak pilih aku, asalkan kita tetap bersahabat dan aku pengen banget minta maaf atas semua keributan yang aku buat. Lah gimana, kita aja kaya nggak ada kesempatan lagi buat ketemu," keluhku lesu.

"Iya, aku pengen cerita banyak hal sama dia. Nggak masalah deh kalau harus sakit bertepuk sebelah tangan."

Cerita-cerita dan keluhan kami hingga Inggris, dari Jakarta, transit, sampai benar-benar dan di Brimingham, yang dibahas tetap Za.

"Ah Inggris," pekik Zico.

"Ah Inggris, apa arti Inggris tanpa Za," keluh Brylian sepertinya agak menyindir Zico.

Zico tersenyum. "Kalau memang persahabatan kalian kuat, bahkan sampai ujung dunia takdir menemukan jalannya," menepuk bahu kami dua kali.

Ya tapi kan Za di Jakarta, aku dan Brylian di Inggris. Iya ketemu nanti setelah 5 bulan di sini, harus nunggu Mei baru berjumpa kembali. Itu pun kalau Za mau berjumpa, kalau enggak? Sama saja.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang