Chapter 13

1.8K 196 27
                                    

Di laga kedua aku datang tidak dengan Mama dan Papa, kedua orang tuaku harus keluar kota karena salah satu kerabat jauhku menikah besok pagi. Aku mau ikut tapi tak tega juga meninggalkan kedua sahabatku yang tengah berlaga. Alhasil hanya datang dengan Keemas, Om Yusyanto, Tante Erna, Om Sutarno dan Kak Kevin, eh masih ditambah teman-temannya Kak Kevin dari sepakbola Sidoarjo. Ramai sekali, apalagi tambahan puluhan ribu suporter di berbagai tribun. Aku selalu takjub melihatnya.

Jika kalian datang ke sini, kalian akan rasakan gemuruh luar biasa yang bisa mengalahkan gemuruh para demonstran. Ada chants, ada lagu nasional dan selalu ada sholawat di antara itu semua. Mulai dari dukungan rasa nasionalisme sampai dukungan rasa religius ada di sini. Membuatku bangga berada di antara mereka, meski aku asli Surabaya, berpindah domisili ke Sidoarjo, suka kota-kota di Jawa Tengah. Yang pasti aku ini Indonesia. Meski aku juga bonek mania, aku tak pernah membenci Aremania, dan aku ingin berkawan baik dengan mereka. Aku pun paling suka melihat ultras Garuda ada di mana-mana.

Terserah orang mau mengataiku suporter musiman dan lain sebagainya, tapi aku telah terdaftar resmi dengan Papa sebagai bagian dari Bonek Mania. Aku cinta Persebaya tapi tak ada alasan aku harus membenci Aremania. Kenapa? Karena Tuhan menciptakan negara ini dengan filosofi semangat persatuan, bukan kebencian. Aku boleh Bonek Mania tapi dengan tegas Aremania adalah saudaraku. 90 menit mereka adalah rivalku, tapi di luar itu, kami adalah Indonesia yang awal persatuannya mulai digaungkan oleh Gajah Mada, diperkuat oleh Budi Utomo, dijunjung tinggi oleh pemuda dan semakin dikokohkan oleh Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Sejatinya sepakbola selalu menyatukan banyak perbedaan, bukan ajang untuk saling membunuh dan menebar kebencian. Sungguh mereka yang melakukan itu adalah orang-orang dengan penyakit hati paling akut di dunia. Kalau kata Brylian, otaknya nggak diinstal Al-Qur'an digital.

Ya semacam inilah indahnya Indonesia, hanya ketika Timnas berlaga, eh iya atau tidak? Aku tanya pada kalian yang masih saling membenci karena beda jersey.

Baik Brylian, Ernando dan aku selalu bercita-cita sepakbola tak menjadi ajang untuk menghilangkan nyawa tetapi saling memaknai tentang keberagaman Indonesia. Mereka sebagai pemain selalu ingin suporter damai, aku sebagai suporter ingin mendukung tanpa pernah takut mati.

"Kalau gini ya indah, kalau denger ada korban jiwa suka miris Tante, Za. Seolah permainan yang dicintai Nando adalah pembunuh dengan bungkusan permainan yang  indah," kata Tante Erna.

"Iya, Tante. Semoga tidak ada lagi," jawabku tersenyum pada Tante Erna. Melihat beliau dan Mama selalu mengingatkanku pada Tante Isnaini, aku yakin Mamanya Brylian itu sedang melihat kami dari atas sana.

Laga dimulai, sama seperti kemarin, mulai mules, dan baru reda ketika Bagus mencetak gol di menit ke 8. Si anak Magelang itu sungguh sedang on fire.

Sepanjang itu aku hanya terpukau dengan semua suara bergemuruh itu, semua yang membuat bulu kudukku merinding. Ini baru namanya persatuan, itu semua berlangsung sepanjang pertandingan, justru tak fokus dengan apa yang tengah terjadi di tengah lapangan. Bahkan aku terlambat tahu bahwa di menit ke 21, si Bagus mampu mencetak satu gol lagi. Gila memang anak Magelang itu, sudah empat gol dia kemas dalam 2 pertandingan. Senang melihatnya meski sedih juga mendengar Brylian tidak cukup fit tapi tetap bermain karena semangatnya, mendengar pula Supriadi cedera sehingga tidak bisa bermain.

"Aduhh, awas, Nando!" Teriak Tante Erna ketika gawang Ernando Ari Sutaryadi mulai diserang oleh lawan. Beberapa kali dia mampu mematahkan dan aku tahu, itu perkembangan yang pesat bagi Ernando.

Dulu, dia hanya menjadi pelengkap, tak dipasang dalam beberapa ajang, bahkan sempat ditolak, tapi sekarang dia tunjukkan kelasnya sebagai kiper terbaik di masa yang akan datang. Brylian juga cukup konsisten dengan permainannya mengatur lini tengah, dia jendral yang cukup lugas, tapi dia tak pernah bisa menyakiti lawan, tacklingnya berulang kali bersih. Mungkin karena dia selalu ingat apa kata Tante Isnaini, bahwa Brylian harus jadi pemain sepakbola yang profesional dan tidak boleh menyakiti lawan di dalam lapangan.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang