Chapter 16

1.8K 226 31
                                    

Atmosfer Gelora Delta Sidoarjo Stadium lebih sesak lagi dari sebelum-sebelumnya. Skuat keluargaku, keluarga Nando, keluarga Brylian, keluarga Zico bahkan keluarga si Kembar Bagas dan Bagus pun ada, lengkap malah. Kami berjajar di tribun VIP dengan orang tua pemain Timnas lainnya. Semata hanya untuk mendukung orang-orang tercinta di bawah sana, mencetak sejarah yang akan sangat membanggakan Indonesia.

Kemarin aku sempat berkabar dengan Brylian dan Ernando, mereka bilang cukup grogi menghadapi Thailand, si raksasa dari Asia Tenggara, tapi aku bilang untuk meletakkan grogi itu di tepi lapangan, biar mereka melebur bersama dengan ribuan manusia yang bersorak dan mendukung mereka. Kecuali Tuhan, semua manusia bisa dikalahkan oleh manusia yang lain. Lagi pula mau Thailand ataupun Amerika Serikat sekalipun itu sama saja, sama-sama manusia dan yang bisa memandang manusia itu berbeda satu dengan yang lain hanyalah Allah SWT. Jadi tak boleh sekalipun minder menghadapi musuh yang masih manusia.

Dan aku berharap, hari ini semua groginya hilang, mereka bermain lepas, dan bisa membawa Indonesia kembali mencatatkan sejarah di stadion ini. 5 tahun yang lalu adalah Evan Dimas, Ravi Murdianto, Hansamu Yama dan lain sebagainya yang mencetak sejarah di tempat ini. Maka biarkan tahun ini Brylian Aldama, Ernando Ari, Komang Teguh dan lain sebagainya yang menciptakan sejarah itu. Biarkan 70 tahun mendatang sejarah mencatatnya dengan tinta emas.

Kembali bergemuruh menyanyikan lagu nasional sebelum para pemain masuk ke dalam lapangan. Sekujur tubuhku merinding dan perutku semacam dikocok-kocok. 

"Kee, kapan mulainya ini?" Keluhku dengan keringat dingin yang sudah banjir.

"Ah, kemarin aja nasehatin Kakak sama Mas Nando pinter banget, jangan grogi lah, sekarang sendirinya yang sampai pucat pasi kaya mayat hidup, Kak Za, Kak Za," menggeleng heran.

"Ahhhh!" Teriakku membuat Mamanya Zico menoleh padaku.

Beliau tersenyum.

"Maklum, Bu, sahabatnya Nando sama Brylian," jelas Tante Erna merangkulku sementara Mama menggenggam tanganku, memberi kekuatan lebih.

"Oh, pucat sekali wajahnya," tegur Mama Zico tersenyum lebar padaku.

"Dia selalu begini kalau dua sahabatnya main, Bu," jelas Mama.

"Ohh, tenang saja. Semua akan berlalu begitu peluit panjang dibunyikan, begitu Indonesia meraih kemenangan."

"Aamiin, Tante."

Mama Zico tersenyum lantas kembali memandang ke dalam lapangan. Laga akan segera dimulai, pasukan telah memasuki lapangan dan gemuruh para suporter kembali menyeruak, memecah belah langit Sidoarjo, mengguncang tanah Sidoarjo yang getarnya bisa sampai Sabang-Merauke.

Indonesia Raya dikumandangkan, jutaan bibir mengucap lagu kebangsaan, inilah cara terhebat dalam mempersatukan perbedaan, sepakbola. Mereka letakkan apa agama mereka, apa pilihan politik mereka, apa suku mereka, dari mana mereka berasal, yang jelas di sini mereka Indonesia.

Percayalah bahwa yang paling mudah memecah belah negeri ini adalah politik dan yang mampu menyatukan negeri ini entah dengan menangis haru atau menangis pilu adalah olahraga. Mengertilah indahnya persatuan tak hanya kala Timnas berlaga.

Laga dimulai dan Indonesia tampil lebih dominan, apalagi seorang Supriadi dan Bagus Kahfi seolah berebut menciptakan peluang, tak hanya mereka Sutan Zico pun beberapa kali mendapatkan umpan matang namun mampu dipatahkan oleh kiper Thailand. Melihat anak asuhnya kehilangan beberapa kesempatan, pelatih Timnas Indonesia U-16, Fakhri Husaini merubah taktik dengan mengeluarkan Amanar Abdillah bahkan baru di menit ke 17 dan menggantinya dengan Fajar Fathur Rachman yang pada akhirnya mampu membuka keunggulan Indonesia menjadi 1:0 memanfaatkan umpan dari si Andre "Cobra" Oktaviansyah.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang