Chapter 29

1.4K 154 33
                                    

Jika orang LDR setiap malam bergantung pada telepon genggamnya, bergantung pada pulsa ataupun kuota, bergantung pula pada Mbak-mbak konter HP depan kompleksnya. Maka sama seperti ketika kami terpisah jarak meski satu-dua hari. Sibuknya kami ya saling berkomunikasi lewat suara, malam ini sih, setelah sholat magrib Brylian menelponku, dia menyambungkan telepon dengan Ernando di Semarang.

"Za, jangan tidur dulu loh, sekali-kali begadang kenapa sih?" Ucap Brylian hanya di kompleks sebelah, sebelahnya lagi.

"Ya Insyaallah, tapi ngantuk lah aku, Bry," keluhku sebenarnya sudah menguap, padahal itu tugas Matematika masih tiga soal lagi belum dikerjakan.

"Kalau sudah ndak kuat ya nanti tidur saja ndak masalah, Za. Kasian kalau mau dipaksa, Za," ucap Ernando di Semarang. Dia lembut dan perhatian, rasanya beda antara dia dan Brylian. Ah, itu sih sudah lama terjadi walaupun Brylian juga sering memberi perhatian.

"Sok perhatian kamu, Tar!" Timpal Brylian cukup ketus.

"Ya suka-suka aku lah, hakku mau perhatian sama siapa juga!" Balas Nando tak kalah ketus.

"Ya nggak usah sok!"

"Loh biasa saja. Sok gimana maksud kamu, Bry?"

Ada apa dengan kedua sahabatku? Pertama, Brylian tidak pernah sekeras itu berbicara pada Ernando, aku pun tahu itu karena Ernando adalah sahabat yang tidak pernah bisa dia sakiti. Kedua, Brylian tak pernah menyalahkan perhatian Ernando selama ini, biasanya dia malah mendukung perhatian itu, menambah perhatian itu. Ketiga, Ernando, laki-laki Jawa itu tidak pernah membalas kalimat Brylian dengan ketus, sebab Brylian adalah sahabat terbaik yang tidak pernah bisa dia sakiti. Lantas kenapa mereka berdua bisa saling lempar keketusan semacam ini?

"Ya sok saja lah, harus gitu kaya perhatian banget sama Za, Tar? Ke orang lain nggak gitu kan?"

"Loh, kamu juga tahu kan dia nggak bisa nahan kantuk, ya ndak masalah lah. Istirahat saja kan kasian juga kalau dipaksa? Kamu nggak suka kalau aku perhatian dengan Za? Kenapa?"

"Ya..."

"Aku tutup nih! Gitu aja jadi masalah kenapa sih? Kalian mah aneh," tegurku mengentikan perdebatan mereka.

Mereka diam cukup lama lantas dengan kompak mengatakan maaf. Aku tersenyum sebab kembali mendengar kekompakan mereka, meski sebenarnya masih ada yang mengganjal, kenapa tiba-tiba mereka memperdebatkan masalah kecil yang sebenarnya sudah terjadi sejak dulu? Mengapa harus semendadak ini dan terkesan mengejutkan?

"Kamu besok pagi sudah balik ke Sidoarjo kan, Tar?" Tanyaku memecah hening yang kembali terjadi.

"Iya, besok, kehabisan tiket kereta jadi naik pesawat jam pagi," jelas Ernando di Semarang sana.

Mengangguk-angguk.

"Cepet banget baliknya, nggak bisa lebih lama?" Tanya Brylian.

"Emang kenapa berharap aku lebih lama di Semarang?" Ernando malah balik bertanya dengan keketusannya.

"Tanya doang, kalau nggak bisa lebih lama ya ini ditunggu di Sidoarjo, Tar." Tak kalah ketus lagi, mereka ini auto amnesia atau bagaimana? Baru saja saling meminta maaf malah memulai lagi.

"Mau mulai lagi?" Tantangku.

"Enggak, Za," sahut mereka lagi-lagi kompak. "Kalian mah aneh, kenapa juga harus saling lempar keketusan? Baru kali ini loh kalian kaya gitu."

Diam lagi, hening menyapa lagi. Tidak ada yang mau menjawab, jadilah suara-suara Zico tentang bisa saja persahabatan ini berubah menjadi Segitiga Bermuda pun kembali menghantui. Benarkah ini awal dari sebuah misteri tentang Segitiga Bermuda dalam persahabatan? Bagaimana jika benar? Apakah tak lama lagi persahabatan ini hanyalah kisah remaja yang menjadi kenangan? Tapi aku tidak ingin itu, aku ingin selalu bersama mereka, menjadi orang terdekat mereka. Lebih baik jika nanti aku dilupakan karena mereka menjadi pemain sepak bola dunia, menjadi idola banyak manusia, tapi aku tidak bisa dilupakan karena persahabatan ini hanyalah Segitiga Bermuda yang menelan korban jiwa.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang