Chapter 67

980 147 32
                                    

Brylian Point of View

Za menghilang begitu lama, pernah berusaha mencari di Surabaya ketika akhirnya aku dan Nando dikontrak oleh Persebaya Surabaya U-16/U-19 tetapi tidak membuahkan hasil. Pernah berusaha menghubungi nomor Om Herman yang biasa menghubungi Mak Jum tetapi tidak pernah mendapatkan balasan, justru selalu berujung penolakan. Hal itu pula yang membuatku semakin menggebu-gebu ingin segera bertemu dengan Za dan meminta penjelasan darinya.

Bahkan hingga tahun berganti, hingga kami bisa menebus satu persatu impian kami, tidak ada Za yang kehadirannya kami nantikan. Ketika berita-berita gembira ingin kami bagi, ketika kabar buruk ingin kami buang, tidak ada telinga ataupun bahu Za untuk kami.

Hari ini aku di Semarang, pulang ke rumah Nando setelah menjalani pertemuan dengan beberapa pihak di Jakarta. Ini tentang kabar keberangkatan kami ke Inggris beberapa Minggu lagi dalam program Garuda Select.

"Bry, Ndo, makan dulu," panggil Tante Erna ketika kami masih menatap kosong langit biru.

"Iya, Tante," jawabku bangkit lebih dulu.

"Iya, Ma," disusul Nando berwajah lesu.

Tante Erna mungkin sudah biasa melihat wajah kami semacam ini tanpa Za. Sudah lelah bertanya karena jawabannya tetap sama, rindu Za.

"Bry, masih Zico kenapa ya kok sekarang kaya pelit gitu. Hape dipinjem nggak boleh, password semua, kita minta nomornya Za aja loh dari tahun 2018 sampai tahun 2019 kagak pernah dikasih," kata Nando di meja makan.

Untungnya tidak ada Tante Erna, beliau masih di dapur. Bisa kena marah kalau terus menerus berbicara tentang Za setiap kali makan. Tetapi Zico memang aneh, dia sahabat kami, keluarga kami, tapi dia juga yang menyembunyikan Za. Pengen baku hantam lagi, tapi bertambahnya umur tahun ini nanti harusnya menjadi semakin dewasa. Baku hantam? Itu hanya hal kolot yang tidak perlu dilakukan orang-orang berpendidikan.

"Iya sih, Tar. Aku tahu dia pacarnya Za tapi ya apa harus gitu nyembunyiin Za dari kita," balasku kesal, melempar sendok hingga berbunyi ting saat menyentuh piring.

"Itu lah sebelnya aku. Kita nyari Za kek hampir berapa bulan kaya orang gila. Eh dia bisa itu ha ha hi hi sama Za."

"Heh, makan dulu, ngobrol terus," tegur Tante Erna.

Kami berdua langsung menunduk, diam dan melanjutkan makan.

Hari-hari kami ya semacam ini, bola, makan, tidur, bola makan, tidur, tidak ada canda tawa Za, tidak ada istilahnya holiday dengan Za. Semuanya hampa, datar, dan biasa saja. Bahkan meski bermain untuk kebanggaan, Persebaya Surabaya.

🔻🔺🔻🔺

Sebentar lagi kami akan berangkat ke Inggris, dan aku masih berharap bisa berjumpa dengan Za. Berpamitan, dan bilang dengan bangga, aku akan latihan di Inggris dengan mantan pemain Chelsea. Aku akan melawan klub-klub Inggris dan aku tetap sahabatnya semoga Za bangga. Tapi hingga Jakarta, hingga karantina tidak ada Za yang kudapati.

"Seandainya aja waktu di Solo aku kejar Za dan nggak dihadang para fans," kata Nando masih mengharap kejadian di Solo waktu itu.

Dia pernah bercerita melihat seseorang yang mirip Za ketika di Solo, dalam acara POPWIL III, tapi sayangnya belum sempat dipastikan orang itu menghilang.

"Salah kau ganteng, Tar. Kalau kau nggak ganteng waktu itu, pasti kau tidak diburu sama fans kau," sambarku ala-ala orang Medan tetapi gagal 60%. Hanya ingin mencairkan suasana saja. Disaat yang lain main PUBG mungkin pembicaraan ini terlalu serius. Tapi memang serius hidup tanpa Za tidak menyenangkan.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang