Ernando Point of View
Latihan pagi seperti biasanya, dimulai dari latihan fisik hingga latihan olah bola. Sesekali sambil memandang tentara memekikkan suara juangnya. Markas Tentara ini cukup ramai tapi terasa kosong, kerinduan, cinta yang diam, persahabatan, semua membuatnya begitu kosong. Latihan kurang fokus beberapa kali, ditegur beberapa kali, bahkan hendak ditempeleng.
Komandan Garuda Revolution pernah berkata, jangan jadi kopong sebelum berkembang, setiap captionnya ketika mengingatkan pemain muda selalu saja tentang itu. Aku pun tidak mau masuk ke dalam jajaran itu, Ikatan Dengkul Kopong Indonesia alias IDKI. Menjadi tidak berguna begitu mengenal cinta, tapi kenyataanya cinta memang sehebat itu mempengaruhi.
"Kenapa sih? Nggak bisa fokus banget." Tanya Komang Teguh yang berjalan bersamamu menuju tempat kami menginap.
Latihan telah usai, waktunya kami istirahat dan menikmati kebersamaan. Bersenda gurau, bercerita pengalaman dan saling mengingatkan.
"Keingat sama Za?" Sambar Zico mendekatiku, berada di antara aku dan Komang.
"Apa sih, Co?" Mendorongnya menjauh.
Zico tetap gigih, tatap menyamai langkahku. "Kalau cinta katakan cinta, mau apa nanti akhirnya biarkan saja dia mengalir. Kalau diam, itu istilahnya bendungan mampet!"
Hanya melirik Zico tanpa mengatakan apapun, dia tidak tahu seberapa rumit hasil kejujuran, dia tidak akan mengerti, dia tidak pernah merasakan itu. Orang sok tahu macam Zico, lebih baik tidak ada di sini. Hanya merusak apa apa yang tidak bisa dia perbaiki.
"Tapi menurut gue sih, cinta itu nggak bisa diam, sekalipun kita diam, rasa akan bercerita dengan sendirinya. Karena tanpa Lo katakan, sikap dan perbuatan lo lama-lama menunjukkan cinta," Komang Teguh pun tak mau kalah. "Eh tapi ini kenapa bahas cinta?"
Menghela napas panjang, kata-kata mutiaranya saja yang bagus, tapi tidak tahu kondisi apa yang tengah terjadi. Maklum sih, dia tidak sekepo atau sesoktahu Zico.
"Mending lo diem kalau nggak ngerti apa-apa, he he he," merangkulnya dari belakang lantas menariknya masuk ke dalam penginapan.
Sempat berpapasan dengan Brylian, tapi dia terlihat menghindar, dia berjalan cepat menuju ke kamarnya. Aneh lagi itu anak, semacam menghindariku. Padahal aku hendak mengajaknya melakukan video call dengan Za, aku tahu siang ini ponsel akan diberikan selama dua jam saja.
Di kamar, hanya dengan Zico, dia bilang kalau nanti aku menghubungi Za, dia ingin ikut bergabung, dia bahkan sempat bercanda menjadi bagian dari kami. Itu tidak akan mungkin, dia hanya menambah kerumitan.
"Daripada Triangle terlalu berbahaya, mending Square kan, Ndo?" Sambil cekikikan.
Hanya aku pandang sekilas.
"Woy, hape, woy, jangan kehilangan satu detik pun untuk menghubungi yang tercinta," teriak Rendy di depan kamar anak-anak.
"Budak cinta lo!" Pekik Amanar dari dalam kamarnya di sebelah kamarku.
"Ye, yang tercinta belum tentu pacar kali, emang emak lo bukan yang tercinta? Dasar lo dikutuk ntar jadi kaleng-kaleng!" Balas Rendy membuatku tersenyum tipis.
Keluarga di sini itu layaknya tempat pelarian yang terbaik. Ketika merasa gundah, satu dua orang merupakan penghibur terbaik. Ketika kita bahagia pun, mau berlari ke keluarga ini, kita malah akan semakin bahagia bersama.
"Zico, hape gue dong, Ren!" Pekik Zico dari tempatnya berbaring, bossy banget.
Aku melangkah keluar, menyibak beberapa ponsel yang masih tertumpuk. Mencari ponselku berwarna merah menyala, berlayar lebar, ponsel yang biasa Za pakai untuk main game di tepi tanah lapang ketika kepalaku dan kepala Brylian ada di bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...