Chapter 41

1K 149 8
                                    

Brylian Point of View

Aku hanya mencoba acuh sedikit pada Za, kuharap rasa itu hilang dan kembali sepetui semula. Atau kalaupun masih ada, jangan buat aku menyadarinya. Aku benar-benar telah melakukan kesalahan tetapi terlalu pecundang untuk sekedar mengakui dan mengucapkan maaf.

"Bang, sandalku dikemanain? Udah punya sendiri-sendiri juga!" Pekik Bagus dari ujung kanan sementara Bagas dari ujung kiri memakai sandal jepit warna biru. 

Dua manusia kembar yang kelihatannya tak pernah bertengkar ini sebenarnya hampir setiap waktu bertengkar. Hanya di depan kamera mereka jaga image saja, ha ha ha. Tapi itulah hiburan kami, pertengkaran mereka dan romansa mereka ketika akur.

"Nggak dapat feel-nya dalam hidup kalau nggak pakai punyamu, Dik," balas Bagas terkekeh tanpa rasa bersalah.

"Ahhh! Pokoknya pakai punya sendiri, baru nih, punya Abang nggak nggak baru, udah diukir-ukir tulisan nggak jelas. Alaymong emang!" Tegur Bagus tepat saat mereka berhenti di belakangku, aku yang tengah menghadap ke arah jendela. Lebih tepatnya menetap kosong sambil dengar pertengkaran mereka.

Tak lagi ada pertengkaran, malah mereka beralih di samping kanan dan kiriku. "Galau?" Tanya mereka kompak sekali.

Menggeleng ringan.

"Lo nggak kirim surat juga buat Za?" Tanya Bagas membuatku menoleh padanya cepat.

"Surat?" Tanyaku bingung.

"Iya, Nando kirim surat buat Za karena Za nggak balas semua pesannya, surat rindu mungkin ya," Bagas meminta persetujuan Bagus.

"Iya, surat rindu kemungkinan. Kan biasanya kalian berdua kan, emang nggak rindu sama Za?"

Aku terdiam saja, tapi aku langsung melangkah menuju kamar Ernando, dia yang tengah berbincang dengan Zico juga Vedhayanto. 

"Tar!" Panggilku cukup keras sampai dua orang itu terperanjat.

"Kenapa, Bry? Bisa pelanan dikit kayanya kalau manggil," protesnya.

"Kamu kirim surat apa buat Za?"

"Surat? Oh bukan apa-apa," jawabnya seperti menyembunyikan sesuatu.

"Yakin kamu, bukan apa-apa?"

"Yakin, aku cuma merasa rindu aja sama dia tapi dia nggak balas semua pesanku. Aku khawatir lah sebagai sahabatnya, nggak kaya kamu yang jadi cuek padahal sahabat Za sakit di sana. Diajak telepon Za saja nggak mau, padahal kamu tahu gimana Za kalau kita menghubungi dia, pasti seneng kan, Bry?"

Kalimat itu malah menjadi benda tumpul yang menusuk. Aku rindu Za, sama seperti biasanya ketika kita jauh. Hanya saja untuk kali ini aku terlalu pecundang mengakui kesalahan. Aku menyesal, sangat-sangat menyesal sekali mengatakan perasaanku pada Za. Tapi untuk mengatakan penyesalan itu aku terlalu pecundang.

Aku ingin leluasa sepetui dulu, mengungkapkan rindu tanpa takut dia pergi, mengatakan ingin bertemu tanpa takut dia tidak mau. Aku ingin seperti dulu yang Za tidak tahu tentang perasaanku, tapi tidak bisa. Tidak bisa aku lakukan karena sudah terlanjur terjadi.

Seharusnya aku tidak memberi surat itu dan posisiku tidak akan sesulit ini. Tapi semuanya telanjur terjadi, sekarang malah berpikir untuk memperbaiki, tetapi bingung juga mulainya dari mana.

Aku terus memikirkan kesalahanku sepanjang malam, tidur kurang dan harus bolak-balik menemui psikolog Timnas U-16 untuk sekedar berbagi tapi tidak aku katakan masalahku, hanya bilang melakukan kesalahan dan terlalu pecundang untuk meminta maaf.

Hal itu pula membuatku tidak fokus dalam berlatih, berulang kali ditegur Coach Fakhri dan dianggap main-main setelah terbang tinggi sebagian juara di Asia Tenggara. Aku dianggap gerbang terlalu tinggi hingga lupa pijakan di bumi. Aku tidak terbang, aku justru jatuh terpuruk oleh kesalahan.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang