Chapter 44

962 141 18
                                    

Brylian Point of View

"Ndo, jangan, Ndo. Please gue mohon, gue masih pengen bawa Indonesia ke Piala Dunia U-17!"

Dahiku mengernyit melihat Rendy mengejar Nando yang berjalan seolah mendekatiku. Begitu pula dengan Bagas yang terus mengejar sementara Nando terlihat begitu serius, bukan, mungkin duarius.

"Capt, Capt, perang, Capt," teriak Bagus di kamar sebelahku tapi dia sambil tertawa-tawa. Kamarnya David Maulana, dan Zico di paling belakang menahan tawanya sambil memegangi perut.

Ernando yang sudah di depanku tiba-tiba saja merangkul leherku, membawaku pergi ke bawah, menuruni anak tangga bukannya naik lift.

"Mampus!" Pekik Rendy dan Bagas tetap terus mengikuti.

Aku mengibaskan tangan Nando, begitu keras atau mungkin terkesan marah. "Apaan sih, Tar?" Tanyaku sedikit membentak.

"Ikut aja! Banyak nanya nih kamu, Bry!" Katanya dengan tampang serius sekali, dan kembali mengalungkan tangan kirinya di leherku.

Biasanya dari kecil kalau kita main berantem-beranteman suka begini posisinya. Tapi tidak mungkin kan kali ini akan bermain itu? Ya walaupun belum 17 tahun tapi setidaknya juga bukan waktunya bermain-main. Tapi kalaupun berantem beneran, kenapa? Apa karena Ernando tahu aku sudah mengungkapkan rasa pada Za dan membuatnya sakit beberapa hari? Apa karena itu?

"Ndo, lo sabar dulu, Ndo!" Teriak David berlari menuruni anak tangga, begitu cepat sampai menyalip Rendy dan Bagas.

"Kagak bisa sabar gue!" Balas Nando menarikku semakin ke bawah.

"Ini apaan sih?" Tanyaku masih dalam rangkulan tangan kiri Ernando.

"Duh, gue mohon nih, kita ini tim, kita nggak boleh pecah sebelum bisa terbangkan Garuda. Ya Allah, Ndo, gue tahu lah lo kiper terkeren abad ini, tapi gue mohon jangan berantem," David memohon sambil terus mengikuti kami.

Sementara itu di atas kami, yang juga ikut turun ke lantai paling bawah. Zico dan Bagus terus saja tertawa, Rendy dan Bagas saja yang sama paniknya dengan David Maulana.

"Apa sih, Capt?" Tanya Nando malah seperti orang lemot.

"Jangan berantem ya? Aduh, kepala gue pusing ini, mending jadi Kapten Cheerleader daripada Kapten Sepak Bola. Tuhan, gue nggak sanggup!" Keluhnya mendongakkan kepala membuatku dan Ernando sama bingungnya.

Yudha Febrian yang berjalan dari bawah, membawa ponselnya dan tersambung headset ke telinga. Dia juga bingung, dari bawah ke atas sementara kami dari atas ke bawah.

"Kalian kenapa sih?" Tanya Yudha melepas headset di telinga kanannya.

Ernando tidak menggubris, David, Rendy dan Bagas juga. Apalagi dua manusia yang selalu tertawa di belakang kami. Mana peduli mereka ini ada apa.

Sampai di lantai paling bawah, semua pemain berkumpul untuk mengambil ponsel mereka masing-masing. Dan mereka semua bingung melihat tingkah kami berlima, dua orang seperti mau bertengkar, tiga orang kepanikan, dua orang lagi tertawa.

"Ini pada kenapa sih?" Tanya Supri sudah memegang ponselnya.

"Pada miring otaknya nih!" Sambar Komang Teguh mendekati kardus ponsel.

Ernando melepas tangan kirinya dari leherku.

"Jangan berantem please!" Pekik David Maulana begitu keras sampai semuanya hening. Official yang tadinya berbincang pun jadi diam. "Asli, kita harus masuk Piala Dunia, tanggung jawab kita bawa nama negara itu bukan main-main! Jangan pecah hanya karena cinta remaja! Jangan jadi bodoh hanya karena cinta! Cinta kalian pada negeri ini itu yang utama!"

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang