Brylian Point of View
"Brylian, Brylian!" Sorakan itu menyambutku ketika keluar dari hotel.
"Aaakk, Zico," teriak yang lainnya sambil berlarian ke arah kami.
"Nando, foto bareng dulu, Nando!" Teriak perempuan yang lain lagi.
Ini asli bukan hoaks yang diciptakan oleh seorang aktivis politik tentang operasi plastik, seriusan ini bukan hoaks, perlu aku ulang berulang kali, semua yang ada di sini adalah perempuan, tak ada laki-lakinya. Astaga, ada kesan tidak enak ketika mereka berdesak-desakan hanya untuk dekat dengan kami, tidak enak pula ketika mereka menempel-nempelkan tubuhnya pada kami.
"Aduh, Bry, Za parkir mobil dimana? Nggak bisa dihubungi pula. Kalau disuruh jemput langsung ke pintu hotel mau nggak sih?" Bisik Nando ketika dia menarikku kembali ke dalam hotel. Menghindari beberapa fans yang akan menyerang.
Bukan, bukan kami sombong tapi waktunya tidak tepat, kami hanya ingin pulang, istirahat sejenak, nah besok kalau mau minta foto bisa lah ketemu di rumah atau dimana. Asalkan aku tidak sedang dengan Za dan Nando, karena saat itu bahkan keluarga kami pun tidak berani mengganggu.
"Kamu telepon Om Herman deh, Tar. Minta nomornya Cak Husin, ntar kita telepon buat langsung bawa mobil ke sini," kataku sudah pilihan yang terbaik.
Namun, belum sempat menelpon Om Herman, mobil hitam dari salah satu perusahaan ternama di Indonesia, yang masih satu perusahaan dengan tragedi tabrak tiang listrik, mobil itu sudah membunyikan klaksonnya dan Cak Husin melambaikan tangan pada kami.
"Ah, cepat tanggap!" Pekik Nando langsung menarik kopernya.
"Kek Badan Nasional Penanggulangan Bencana, cepat tanggap," gumamku lantas menarik koper dan hanya sedikit melayani foto bersama dengan fans lantas masuk ke dalam mobil menyusul Ernando.
Sudah ada Za di jok depan, Nando di sampingku dan Cak Husin jelas berada di balik kemudi setelah memasukkan koper Nando dan koperku.
Ah, lidahku suka tidak tepat kalau menyebut nama Nando atau Ernando, kebiasaan panggil Sutar, tapi kata Za, setidaknya harus lebih sopan ketika bercerita dengan kalian.
"Untung cepat tanggap dalam keadaan darurat, Za," kataku membenarkan posisi duduk.
Za menoleh, memandangku dengan Ernando bergantian.
"Kalian kenapa sih ngomongin hal yang sama?"
"Hah?" Aku bingung memang apa yang sama.
"Ya si Sutar udah bilang gitu tadi, Bry. Kenapa ikatan perasaan antar sahabat harus dijelaskan? Ah, ya intinya ini lah namanya telepati. He he he."
Menghela napas, baiklah, Za memang begitu, dia selalu datang di saat yang tepat, dia adalah ketepatan masa remajaku.
"Kita mampir ke makam Mama dulu mau nggak?" Tawarku setelah diam.
Aku sungguh ingin bertemu dengan Mama, ingin sekali menyampaikan bahwa putra keduanya baru saja mempersembahkan piala untuk Indonesia. Mama pasti menantikan momen ini sudah sangat lama, tapi tak pernah bisa terwujud selama Mama masih di dunia, justru baru terwujud setelah beliau berpulang.
"Setuju," sahut Za dan Nando.
"Aku mau bilang sama Tante kalau kiper gantengnya habis nepis dua tendangan pinalti," kata Sutar dengan bangganya, dia hanya bisa membanggakan itu di depan kami, di depan orang lain dia merendah habis-habisan. Ha ha ha.
"Ah, dulu aja pas Tante Isnaini masih sehat kamu kalau ngomong suka gagap, sekarang aja mau ngomong kaya gitu! Huuuu kaleng! Berisik kalau ditendang doang!" Canda Za sambil menjulurkan lidahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle
FanfictionCerita ini sudah mendapatkan persetujuan dari Ernando Ari Sutaryadi ketika di Solo dalam acara POPWIL III 2018, dia sudah baca deskripsi juga dan dia bilang iya, tepat pada tanggal 11 November 2018. Silahkan dibaca 😊 "Segitiga, bangun datar dengan...